Akhirnya saya
bisa menapakkan kaki di Tana Toraja. Salah satu destinasi wisata yang
sebelumnya hanya berada di angan-angan. Berbekal itinerari yang dibuat oleh
seorang kawan, saya nekat mengunjungi Tana Toraja ketika berada di Makassar
tanggal 22-24 Maret 2012 lalu. Bayangan akan sempitnya waktu yang ada dan jarak
tempuh yang jauh dari kota Makassar tidak menyurutkan niat saya untuk
mengeksplor Toraja walaupun hanya dalam waktu 1 hari. Banyak orang yang
meragukan rencana saya kala itu. Waktu yang terlalu singkat, tidak cukup bagi
saya untuk menikmati keindahan yang ditawarkan Toraja, begitu argumen mereka.
Namun, karena TEKAD, akhirnya saya tetap memberangkatkan diri. Bersama
seorang travelmate cewek asal Bekasi, Anya, saya mengeksplor
Tana Toraja di tanggal 23 Maret 2012.
***
Setelah sampai di
Makassar, sore harinya saya langsung diantar host saya untuk memesan tiket bus menuju ke Tana Toraja. Ketika itu
dia memilihkan Bus Litha untuk mengantarkan saya ke Toraja. Harga tiket bus
ekonomi hanya IDR 80 ribu/orang. Tanpa banyak cingcong, saya langsung memesan 2 buah tiket. Bus Litha
meninggalkan Makassar menuju ke Toraja jam 8 malam waktu setempat.
Setelah sekitar 9
jam menembus malam dan tidur di atas kursi bus, akhirnya tepat pukul 5 pagi,
saya tiba di Rantepao, Toraja Utara. Udara sejuk dan dingin menusuk tulang khas
dataran tinggi, langsung menyambut kehadiran saya. Berniat mencari rental
motor, tapi semuanya masih tutup. Kantor-kantor dan usaha disini baru buka jam
6 pagi. Ngemperlah saya waktu itu,
menumpang buang air kecil, cuci muka dan ngecharge
hape di kantor perwakilan Bus Batutumonga, hehehe...
Setelah berhilir
mudik dan bertanya ke lebih dari 3 orang penduduk local untuk mencari-cari
rental motor, akhirnya saya menemukannya di depan gereja Katholik Rantepao.
Dengan harga hanya sebesar IDR 50 ribu / 8 jam (inc. bensin 1 liter), saya memberanikan diri menyewa motor yang
terlihat tidak dalam kondisi prima itu. Dengan rem yang sedikit tidak pakem,
pijakan gigi yang menjorok terlalu dalam dan beberapa ketidaknyamanan lainnya
membuat saya ketar-ketir di
awal.
Tapi dengan alasan murah dan diburu waktu, akhirnya saya mengeluarkan KTP dan
menyerahkannya ke pengelola.
Belut Pamarasan |
Motor sudah
didapat, sekarang saatnya sarapan! Saya menghentikan laju motor di salah satu warung
makan yang terlihat sederhana di depan patung kerbau. Sekenanya sih, tapi
jangan salah. Ternyata si ibu penjual, yang pada akhirnya saya tahu bahwa dia
adalah isteri Kepala Dinas Pariwisata Toraja Utara, menyediakan berbagai
kuliner khas lokal. Saya memesan seporsi Belut Pamarasan,
belut yang
dimasak dengan sayur pangi. Sedangkan Anya memesan Ayam Dangkot,
ayam yang
dimasak dengan kelapa muda, sereh dan kunyit. Keduanya bercita rasa
pedas. Enak sih, saya juga diberi bonus sebungkus jajanan khas yang terbuat
dari singkong. Kalo di Jawa sih
dibilang lemet. Dengan harga total IDR 30 ribu (inc. sebakul nasi yang masih tersisa banyak), membuat
perut saya kenyang dan siap untuk mengeksplor Toraja 10 jam ke depan.
Berbekal peta dan
info dari pemilik motor, sayapun mengikuti setiap garis jalan yang nampak di
fotokopian peta tersebut. Sebenarnya, wisata di Toraja ini hanya ada 2 kelompok
besar, melihat rumah Tongkonan dan kuburan adat. Jadi tidak perlu berkunjung ke
semua tempat, karena sebagian besar memiliki kemiripan. Selain itu, jarak
antara lokasi wisata satu dan yang lainnya searah dan tidak begitu jauh,
kecuali kamu mau ke Batutumonga, sebuah dataran tinggi di Tana Toraja. Sekedar
tips, jika
kamu berencana hanya mengeksplor Toraja dalam satu hari seperti saya, jangan
terlalu banyak membuang waktu di satu lokasi wisata. Karena berdasarkan
pengalaman saya kemarin, satu lokasi wisata cukup dikunjungi tidak sampai 30
menit, itupun sudah termasuk mengambil foto landscape
dan bernarsis ria, hehehe...
Menuju ke
selatan, kita bisa mengunjungi beberapa lokasi wisata yang searah. Sebut saja
Buntu Pune, Ke'te' Kesu', Kambira, Lemo, Londa dan beberapa tempat lain yang
saya lupa namanya, hehehe...
Tau-Tau |
Tempat pertama yang saya kunjungi adalah Buntu Pune. Disini kita dapat melihat
rumah-rumah Tongkonan berdiri dengan eloknya. Dihiasi beberapa tanduk kerbau di
bagian depan rumah, menjadikan rumah adat Toraja ini berciri khas. Selanjutnya
saya bermotor menuju Ke'te' Kesu'. Ini adalah
salah satu tujuan utama setiap turis berkunjung ke Toraja. Karena lengkap. Ada
beberapa rumah Tongkonan berjajar rapi, sawah yang menguning, beberapa batu
megalithikum, kuburan kuno dan ada Tau-Tau (patung kayu yang dibuat
mirip dengan orang yang meninggal, lengkap dengan pakaian dan perhiasan). Peti mati
disini ada yang besar untuk beberapa jenazah di dalamnya, serta ada peti mati
yang diletakkan begitu saja di sebuah bukit dengan tulang belulang berserakan.
Mengapa kuburan
di Toraja ini selalu di bukit?! Jadi, disini ada kepercayaan bahwa semakin
tinggi jenazah di tempatkan, maka semakin cepat arwahnya sampai ke Nirwana.
Selain itu, ada tiga jenis cara menguburkan jenazah. Yang pertama, jenazah
dimasukkan peti yang kemudian diletakkan di dalam dinding goa yang sudah
dilubangi dan membuat patung kayu setelahnya. Kedua, dibuatkan peti besar yang
nantinya di dalam peti itu bisa dimasukkan beberapa jenazah kerabat. Cara
seperti ini hanya biasa dilakukan oleh orang kaya. Yang terakhir adalah dengan cara
dimasukkan ke dalam peti kemudian digeletakkan begitu saja di tanah. Unik ya?
Itulah keistimewaan Toraja.
Setelah
dari Ke’te’ Kesu’, saya melanjutkan perjalanan ke Kambira. Jalan menuju ke tempat ini sangat ciamik!! Sawah luas yang
sedang menguning dilatar belakangi pemandangan gunung dan langit yang biru.
Serta nampak beberapa petani yang sedang beraktifitas. Hmm, sulit menggambarkan pemandangan yang saya lihat saat itu.
Namun sayang, saya sempat jatuh ndlosor
di aspal!! Gara-gara motor yang tidak nyaman, jalan beraspal yang sempit berlubang
dan kaget melihat mobil di depan yang akan berpapasan. Damn!! Beruntunglah saya hanya luka ringan dan travelmate saya baik-baik saja... Tengsin?! Jelas! Hahaha... Tapi gak
papalah, harap maklum #maksa.
Oke, setibanya di Kambira, saya harus membayar tiket sebesar IDR 10 ribu.
Lokasi wisata yang satu ini sepi, tidak ada pengunjung lain selain saya dan
Anya. Well, ternyata ini adalah
kuburan bayi yang disebut Liang Pia atau Passiliran. Yang unik disini adalah
jenazah bayi-bayi itu diletakkan di batang pohon besar, dengan cara melubangi
batang tersebut, menutupnya dengan semacam ranting dan diikat dengan
menggunakan tali. Beberapa diantaranya sudah berusia ratusan tahun lho... Hanya
butuh waktu 15 menit berdiam di lokasi ini dan kita melanjutkan perjalanan.
Lokasi
selanjutnya adalah Lemo. Dengan
pemandangan persawahan khas Toraja, disini kita bisa menjumpai kuburan di
dinding terjal sebuah bukit. Ya, dinding batu kokoh itu
dibuat layaknya almari dengan pintu kayu di depannya, digunakan untuk
“menyimpan” jenazah. Konon, ketika ada pemakaman, diadakan ritual khusus yang
membuat si jenazah melayang dengan sendirinya ke tempat persemayaman
terakhirnya di atas bukit sana. Ketika prosesi gaib itu dilakukan, tidak boleh
ada kegaduhan, termasuk suara anak yang menangis, jadi tidak ada yang membawa
serta anak kecil saat itu. Tidak tahu apakah hal itu benar-benar terjadi, namun
yang pasti di jaman modern sekarang, prosesi pemakaman tidak ada hal yang
aneh-aneh seperti itu lagi, menurut jawaban orang lokal yang saya temui. Kamu
juga bisa mendapati Tau-Tau disini. Patung kayu itu juga diletakkan di dinding
bukit.
Selesai
dari Lemo, jam sudah menunjukkan sekitar pukul 12.30 WITA. Saatnya makan siang.
Saya dan Anya kembali ke pusat kota Rantepao untuk mencari kuliner lokal
lainnya. Eh, ternyata di art centre
dekat pasar, sedang digelar acara “Festival Kuliner Khas Toraja” yang pertama!!
Widih, Tuhan begitu baik kepada saya.
Diberi cuaca cerah selama di Sulawesi Selatan ini, dapet host murah hati, dapet
travelmate ke Toraja dan sekarang memberikan bermacam-macam hidangan khas
Toraja di hadapan saya. Akhirnya saya makan siang dengan lauk Pantollo’ Burak,
ayam yang dimasak dengan irisan batang pisang kepok yang masih muda, parutan
kelapa muda, sereh, jahe, irisan bawang merah dan putih, cabe serta garam dan
penyedap rasa. Rasanya?! Hmm, gurih dan krenyes-krenyes,
nikmat sekali! Dengan segelas jus terong belanda membuat perut saya dimanjakan.
Di tempat ini pula saya bertemu dengan seorang ibu yang menjual kue dan ngobrol ngalor ngidul. Orangnya ramah.
Dia juga sempat mengantar saya dan Anya berkeliling pasar, menunjukkan toko
kopi khas Toraja langganannya. Saking
baiknya, dia mengijinkan saya untuk menginap di rumahnya jika berkunjung ke
Toraja, yang entah kapan saya akan mengunjunginya lagi.
Pantollo’ Burak |
Puas
dimanjakan kuliner lokal dan atraksi kesenian setempat, sebenarnya saya ingin
berkunjung ke Batutumonga. Ibu tadi berkata bahwa ini adalah the best spot in town! Penasaran kan?!
Tapi berhubung jaraknya yang jauh, hampir 1,5 jam berkendara dari pusat kota
Rantepao, akhirnya saya hanya bisa balik
kucing. Dikejar waktu euy!
Akhirnya, setelah mengembalikan motor sewaan, saya menghabiskan sisa sore itu
dengan bercengkerama bersama Anya di pinggir jalan, hingga menjelang
keberangkatan bus menuju Makassar.
So, kesan selama hampir 14 jam berada di Rantepao, saya merasa damai. Wilayah kecil di Utara Toraja ini menyiratkan aura yang berbeda. Mungkin dikarenakan tradisi dan budaya yang masih begitu kental serta penduduknya yang ramah. Kuliner, Tongkonan dan kuburan menyisakan kenangan yang gak bakal saya lupakan. Pengalaman traveling baru di tempat yang jauh, bertemu orang lokal dan tentunya jatuh ndlosor dengan sepeda sewaan...
So, kesan selama hampir 14 jam berada di Rantepao, saya merasa damai. Wilayah kecil di Utara Toraja ini menyiratkan aura yang berbeda. Mungkin dikarenakan tradisi dan budaya yang masih begitu kental serta penduduknya yang ramah. Kuliner, Tongkonan dan kuburan menyisakan kenangan yang gak bakal saya lupakan. Pengalaman traveling baru di tempat yang jauh, bertemu orang lokal dan tentunya jatuh ndlosor dengan sepeda sewaan...
:)) watta journey ya ndre...
BalasHapusTips untuk yang mau ke Toraja SEHARI, pilih mau wisata ke jalur utara atau selatan. Takut g kekejar waktunya cuuy klo mau dua-duanya.
Bagian selatan seperti yang sudah dijelasin dengan ciamik (aiiyyaah) oleh saudara andre, sedangkan bagian utara adalah bagian yang tidak sempat kita kunjungi, batutumonga dan sekitar. Ini daerah dataran (yang lebih) tinggi. Kabarnya di bagian utara ini lebih tradisional dan tidak terlalu turistik tempatnya seperti selatan tapi tetap dengan tongkonan dan kuburan batu khas Toraja.
Klo ada yang sempat berkunjung ke daerah utara Toraja, let me know ya, saya mau tau ceritanya :)
Hahaha... yup! bener-bener perjalanan yang sulit dilupakan! preeettt... ;p
BalasHapusMungkin bisa ke dua-duanya kalo kita ngambil bus paling malam untuk pulang ke Makassar dan jangan terlalu lama stay di satu lokasi kali ya... :D
oooooh ho'oh bener.. ambil bus pulang yang paling malam... Kemaren itu paling lama stay di festival kuliner, ngabisin waktu disana paling lama, klo g salah ada yang takut item :p tapi itu termasuk beruntung karena baru pertama diadain di Toraja..
Hapus