Sabtu, 24 September 2011

SOP CEKER TP 4


 
Anda penggemar ceker?! Kalau berdomisili atau sedang berada di Surabaya, cobalah untuk mampir ke warung makan di daerah Pasar Pucang ini, “Lesehan Bu Munir”. Tempat ini saya kunjungi pas perjalanan ke Madura waktu itu, atas rekomendasi dan ajakan salah seorang temen saya. Berkali-kali disuruh ke Surabaya dan akan diajak untuk “nyeker” ke tempat ini, tentu membuat saya semakin penasaran, seenak apa sih olahan ceker di tempat ini?! Pas banget, mumpung lewat Surabaya, saya sempatkan untuk mencicipi sop ceker di tempat ini. FYI, saya baru-baru saja gemar makan ceker dan langsung jatuh hati, sebelumnya hanya senang dan menelan ludah setiap kali melihat orang yang sedang asyik menyantap kaki ayam ini, tapi ogah kalau disuruh memakannya, hehehe… 


Lesehan Bu Munir ini berada di emperan toko, depan Pasar Pucang. Menu disini gak hanya ceker, tapi juga ada menu lalapan lainnya, seperti belut, bebek, bandeng dan lain-lain. Jam buka?! Kata temen saya sih warung ini hanya buka di atas jam 23.00 WIB hingga jam 04.00 WIB dini hari. Waahhh, kegelapan malam menyimpan suatu keunikan tersendiri dan wisata kuliner hampir tengah malam memang mengasyikkan. Gak peduli banyak yang mengatakan bisa bikin gendut, bla..bla..bla.., yang penting bisa makan enak! Hehehe…




Langsung saja saya pesan seporsi menu andalan lesehan ini, sop ceker TP 4, sepiring nasi putih dan teh hangat. Lumayan lama menunggu untuk dapat menikmati kelezatan yang sudah saya nantikan, mungkin karena rame pas saya kesana. Almost 20 menit, akhirnya pesanan saya datang. Hemmm, aroma rempah langsung merasuk ke hidung. Di dalamnya terdapat, mungkin sekitar lima potong ceker ayam dan empat butir telur puyuh rebus. Itulah sebabnya kenapa dinamai “sop ceker TP4”, bukan karena terletak di Tunjungan Plasa 4, tapi karena ada Telur Puyuh 4 biji! Hehehe… Begitu mencoba kuahnya, ada berbagai rasa rempah yang pekat, yang saya tidak bisa mendeteksinya satu persatu, maklum hanya penggemar makan saja, hehehe… tapi yang saya kenal adalah merica. Ya, kuah sop ini pedas hangat karena merica yang mendominasi. Enak banget disantap tengah malam begini. Anda juga bisa memberikan perasan jeruk nipis untuk menambah kesegaran rasa. Untuk cekernya, empuk! Klunyur-klunyur kalo saya bilang, hehehe… Otot dan kulit dengan mudahnya lepas dari tulang. Hemm… Ajiiiibbbb…!! Kalo boleh saya bandingkan, mungkin rasanya “hampir” mirip dengan kekel SMP 2 Jember, tapi disini lebih kaya rempah yang membuat kuahnya sedikit lebih pekat. Jadi ngiler lagi deh saya pas nulis tulisan ini, hahaha…

Ini Dia "SOP CEKER TP 4"

Secara keseluruhan, walaupun tempatnya hanya di emperan toko, tapi SOP CEKER TP 4 ini layak untuk dicoba. Dengan harga sekitar IDR 12K (inc. nasi dan minum), Anda sudah bisa merasakan kehangatan sop ini. Kapan-kapan, cari kuliner tengah malam lagi ah… ^_^


Jumat, 23 September 2011

YOK, NGECOR RAME-RAME...!!



"Apa sih yang bisa dijual dari Jember, selain tempat wisata yang sepertinya cuma mengandalkan keelokan Papuma?!" Pertanyaan tersebut sering hinggap di pikiran saya ketika ada teman dari luar kota yang mampir ke Jember. Hemmm, mungkin tempat ini bisa dijadikan referensi yang bagus, “Wedang Cor Perhutani”. Ya, tempat ini layak dijual bahkan bagi bule yang lagi nyasar ke kota kecil ini, haha… Karena mampu menawarkan kehangatan dan keramahan dalam satu paket sekaligus.  




Pertama kali saya kesana sekitar pertengahan tahun 2010 lalu, diajak teman kampus. Awalnya memang karena penasaran, seperti apa wujud dari wedang cor ini, namanya terdengar aneh di telinga saya. Lokasinya terletak di belakang Kantor Perhutani Jember, daerah Sumbersari sana, arah ke Banyuwangi. Saya sendiri kurang hafal alamat tepatnya, hehehe… Pokoknya masuk gang di sebelah kantor Perhutani persis. Terus saja tanpa belok, sampai ketemu keramaian yang “kurang lazim” untuk sebuah perkampungan, hehehe… Warung ini buka mulai jam 17.00 WIB sampai sekitar jam 02.00 WIB dini hari.


Pas tiba di lokasi, widddiiiihhh… Rame banget!! Kayak orang punya hajatan, tanpa dentuman musik, hanya suara orang-orang berbincang dan sebagian tertawa lepas. Sepeda motor sudah banyak terparkir, tikar yang disediakan di sepanjang jalan juga nyaris full. Warungnya sendiri hanya menempati gubuk kecil, mirip pos ronda, tapi pengunjungnya itu lho yang bikin heran, tua muda, laki-laki perempuan, semua ada. Semakin membuat saya penasaran.

Rame bangeeetttt....!!!

Setelah dapat tempat, saya langsung memesan wedang cor ini dan ditanya “biasa apa dobel mas?”, “hah, kok ada dobel buk?”, “iya, kalo dobel tapenya dua bungkus…”. Ow, ternyata di dalam minuman ini dicampur tape ketan, “biasa aja buk…”, baru pertama kali nyoba gak usah macem-macem, pikir saya dalam hati, hehehe… Saya perhatikan tuh cara membuat minuman yang mampu menyihir banyak orang untuk berkumpul disini. Ternyata, minuman ini terdiri dari campuran antara tape ketan hitam, susu kental manis dan air jahe panas, fresh from the stove! Hahaha… Kenapa dinamai wedang cor?! Mungkin cara ngaduk berbagai campuran itu seperti orang yang sedang ngecor semen! Pyok…pyok…pyok… diaduk dengan penuh semangat! Di hadapan saya, juga terdapat berbagai gorengan pendamping minum wedang cor ini, ada tempe goreng, pisang goreng dan tahu petis. Hemm, yummy nih kayaknya, malem-malem makan dan minum yang anget-anget, “nanti tolong dianter sama gorengannya sekalian ya pak, campur…”, pinta saya kepada si bapak penjual.


Gak lama saya menunggu, segelas wedang cor, sepiring gorengan dan petis diantar. Langsung saya cicipi, ternyata enak! Hangatnya jahe, manisnya susu kental manis dan asemnya tape bercampur jadi satu. Menghadirkan rasa yang unik di mulut. Ditambah dengan ngemil gorengan dan ngobrol ngalor ngidul bersama kerabat, waktu serasa cepat berlalu…



Sekarang, warung wedang cor ini menjadi jujukan saya saat sedang suntuk atau lagi pengen nyangkruk bareng temen-temen. Tempatnya yang jauh dari hingar bingar kendaraan bermotor, ditambah dengan wedang cor yang hangat dan murah meriah (cuma IDR 3K), membuat saya ketagihan dengan suasana yang ditawarkan dan ingin kesana lagi, lagi dan lagi...

Rabu, 21 September 2011

TOURING KE PULAU GARAM

Touring?! Merupakan hal yang baru bagi saya, menantang sekaligus membuat penasaran untuk mencobanya. Ketika salah satu temen kantor ngajak mudik ke kampung halamannya di Sumenep, Madura sana, saya langsung mantap mengatakan, “AYO! Kapan berangkat?!” hahaha… Coba-coba pengalaman baru lah mumpung masih muda, bener gak?! Plus pengen tau ada apa sih di Madura sana, yang katanya sepi dan gersang, apa ada yang bisa dilihat?! Gilak, sekalinya touring, langsung ke kota paling Timur Pulau Madura!! Anggaplah saya mengunjungi pulau Madura secara keseluruhan, karena harus melewati Bangkalan, Sampang, Pamekasan baru Sumenep. Hahay!

Jumat, 09 September 2011, saya bersama dua orang travelmates, Aaron dan Hari berangkat dari Jember jam 19.30 WIB. Hari mengendarai Mio, Aaron dengan Mio Soul nya dan saya bonceng! Hahaha… Gak masalah kan?! Toh nantinya saya gantian nyupir…! Widih, naik motor malem2, antar kota, baru kali pertama ini saya lakukan. Bus, truk dan tronton menjadi teman perjalanan yang “menyenangkan”. Dengan memacu motor di atas 60 km/h sampai nyaris 100 km/h menjadi sesuatu yang menggairahkan! Sueruuuu….! Hahaha… Di salah satu pom bensin Probolinggo, saya ganti menjadi joki Mio Soul si Aaron. Uhuy! Saya bisa merasakan juga njliut-njliut menyalip tronton-tronton puanjang, memacu adrenalin dengan ngegas poll dan berkejar-kejaran dengan mobil pribadi. Jarak Jember-Surabaya bisa kita tempuh dengan waktu kurang lebih 3,5 jam. 

Di Surabaya, saya sudah janjian dengan salah satu teman saya, Andi, untuk mencicipi ceker maknyus yang direkomendasikannya kepada saya. Setelah mengisi perut, kurang lebih 00.30 WIB, kita langsung melanjutkan perjalanan ke kota tujuan. Dingin dan sepi. Tenaga saya sebenernya sudah loyo, pantat panas dan kantuk mulai menyerang, tapi saya masih semangat untuk meneruskan perjalanan yang panjang ini. Sepanjang perjalanan, di hadapan saya bagaikan terhampar kasur yang empuk. Iri rasanya melihat penumpang bis yang berkali-kali kami salip, mereka bisa tidur pulas di dalam sana, sementara saya dan dua kawan saya masih berjibaku melawan segala rasa ini. Capek, ngantuk dan dingin. Huhuhu… Kapankah perjalanan ini berakhir?! Kita sempat dua kali istirahat, pertama merebahkan badan di bangku salah satu warung di kota Sampang dan yang kedua memejamkan mata sekitar satu jam di sebuah masjid di daerah Pamekasan. Sekitar jam 06.30 akhirnya kita SAMPAI di Sumenep, di rumah temen saya! Pfiuh… Butuh sekitar 8 jam an bekendara dari Jember ke Sumenep (sudah dipotong waktu istirahat)!! Setelah menyapa tuan rumah, tanpa dikomando saya dan Aaron langsung masuk ke kamar yang sudah disediakan dan langsung molorrrr…..!!!! Gak terasa, saya terbangun sekitar jam setengah sebelas siang!! HAH?! Rasa-rasanya cuma merem sebentar.

Ngemper
Sunrise At Pamekasan
Sunrise At Sumenep


Setelah mandi, ngemil dan sarapan rujak campur, kita langsung keluar rumah untuk sight seeing seputaran Sumenep, melihat “Ada apa saja sih di Sumenep ini?!”. Ditemani 3 kerabat Hari, kita bermobil ke Kraton Sumenep, tujuan pertama kita. Sebelum “menjelajah” kraton, saya diajak untuk mengunjungi museum Sumenep. Coba Anda tebak berapa harga tiket masuknya? Cuma IDR 1K/orang! Gile! Murah amat? Masuk ke dalam, ow, pantesan… Di dalamnya banyak disimpan peninggalan Kraton Sumenep, seperti Al-Quran kuno raksasa yang ditulis tangan, kereta kencana, beberapa arca, tembikar dan lain-lain. Gak terlalu banyak. Kesan saya sih, museum ini kurang mendapat perhatian, ruangan yang disediakan terkesan seadanya, agak kusam dan tanpa adanya pembatas antara barang koleksi dengan pengunjung. Bahkan di dekat peninggalan barang pecah belah seperti guci sekalipun! Wah bisa berabe nih kalau sampai nyenggol! Apa gara-gara tiket yang terlalu murah, sehingga tidak cukup untuk menambah prasarana yah?! Sayang sekali, seharusnya museum ini bisa dikelola lebih menarik lagi agar wisatawan yang berkunjung ke Sumenep khususnya bisa menemukan tempat yang layak untuk dikunjungi…

Rujak Campur
Al-Quran Raksasa
Kereta Melor

Setelah itu, kita lanjut mengunjungi Kraton Sumenep yang ada di seberang museum. Gak perlu bayar untuk masuk kesini. Begitu masuk, masih tampak sisa-sisa kejayaan kraton ini. Tiang-tiang penyangga aula dihiasi oleh ukiran cantik, lampu-lampu hias kuno masih tetap tergantung, bekas meriam dan berbagai macam peninggalan lain tetap bisa kita temui disini. Di area kraton ini juga terdapat Taman Sari. Tempat pemandian yang biasa digunakan oleh anggota kerajaan. Tapi, jangan bayangkan seperti Taman Sari di Jogja sana ya, Taman Sari disini berbeda agak jauh! Hahaha… Kondisinya sama dengan museum, kurang terawat, kini malah jadi kolam ikan, yang airnya pun berwarna keruh… Huft! Cat temboknya juga banyak yang mengelupas. Tampaknya pemerintah setempat kurang perhatian terhadap peninggalan budaya seperti ini. Disini juga tidak ada pengawas, jadi pengunjung dengan bebas keluar masuk area kraton, padahal di dalamnya banyak terdapat peninggalan-peninggalan berharga khas kraton, mulai dari yang berukuran kecil sampai arca besar. Bagaimana kalau ada pengunjung “usil” yang membobol lemari dan mengambil barang yang disimpan di dalamnya?! Nobody knows

Gerbang Masuk

Kraton Sumenep
Aula Pertemuan
Taman Sari
Puas mengelilingi kraton, perjalanan dilanjutkan menuju ke pantai. Uyeee!!! Penasaran sebagus apa pantai di Madura sini. Pantai tujuan kita pertama adalah Pantai Lombang, terletak di Kecamatan Batang-Batang. Lumayan jauh untuk menuju ke pantai ini dari pusat kota Sumenep ke arah utara, mungkin sekitar 30 km-an dan ditempuh kurang lebih 1 jam bermobil. Untung saja sepanjang perjalanan saya bisa melihat persawahan, jadi gak terlalu bosan. 

Sampai di lokasi, kebetulan sepi, hanya terlihat beberapa mobil pribadi dan sepeda motor yang terparkir. Tiket masuk? FREE, tanpa penjaga loket. Gak tau kenapa kok bisa sampai gratis, mungkin karena tanah disini masih dalam kasus sengketa. Pantai Lombang ini sangat unik. Biasanya vegetasi di pinggiran pantai kan pohon kelapa, nah disini BEDA. Vegetasi yang tumbuh di sepanjang bibir pantai adalah pohon cemara udang. Mungkin gak banyak pantai yang seperti ini. Pasirnya putih kecoklatan dan berbulir haluuuuussss, sehalus buliran tepung dan lebih halus dari pasir Segara Anakan di Pulau Sempu sana. Saking halusnya, sapuan angin mampu membentuk motif yang indah di permukaan pasir ini. Air lautnya sendiri jernih, tenang dan berombak kecil, cocok digunakan untuk berenang atau sekedar berendam. Di sepanjang pantai juga mudah ditemui penjual es degan dan rujak madura, serta beberapa gazebo tempat berteduh dari sengatan matahari. Garis pantai yang panjang dan lebar bisa dimanfaatkan untuk jalan-jalan dan berjemur layaknya bule-bule, hehehe…. Sayang, fasilitas rekreasi disini masih minim, hanya ada persewaan ban dalam bekas untuk sekedar berenang, tanpa adanya water sports seperti banana boat, alat snoorkeling, jet ski dan sejenisnya. Coba kalau ada fasilitas itu, saya jamin pantai ini menjadi magnet wisatawan yang berkunjung ke Madura dan memajukan perekonomian masayarakat setempat, karena secara umum pantai Lombang ini tidak kalah dengan pantai Kuta yang ada di Bali sana.

Pasirnya lembut
Cemara Udang di Sepanjang Pantai
Bibir Pantainya Lebarrrr...

Puas menjelajah dan bermain air di Lombang, kita berencana ke Pantai Slopeng, berharap melihat sunset, karena setelah saya googling banyak yang mengatakan kalau Pantai Slopeng ini sangat pas untuk melihat sunset. Jam 16.00 WIB mobil kami menderu. Ternyata jarak antara Pantai Lombang dan Slopeng ini jaaauuuuuhhhh…. Tampaknya, kita sampai Slopeng setelah matahari benar-benar tenggelam. Selama perjalanan, mata saya dimanjakan oleh cantiknya langit sore Sumenep. Gradasi warna biru sampai ke jingga benar-benar istimewa! Baru kali ini saya melihat langit senja yang setara dengan langit-langit di lukisan, lebih dahsyat daripada langit sore yang pernah saya lihat di Pantai Lovina, medio 2009 lalu. Widih, benar-benar lukisan alam yang begitu mempesona! Berkali-kali saya mengabadikannya dengan kamera pocket, walau dalam keadaan mobil berjalan, berharap kita tiba di Slopeng sebelum matahari tenggelam. Karena jalanan yang kami lalui berbatu, rusak dan sempit, makadam lah istilahnya, ditambah sempat ada kejadian salah jalur, akhirnya kami sampai di TKP ketika langit gelap, sekitar pukul 17.45 WIB. Yaahh, saya tidak bisa melihat wujud Slopeng yang nyata, karena kurangnya penerangan, benar-benar gelap. 


Senja di Perjalanan Menuju Slopeng

Keesokan harinya, Minggu 11 September 2011, kita pulang ke Jember. Di Pamekasan, sempat mampir ke Api Yang Tak Kunjung Padam, sebuah objek wisata yang mengeksplor beberapa titik api yang muncul dari tanah dan tidak pernah padam, api abadi istilah kerennya. Cukup membayar sekitar IDR 1K, kita bisa melihat fenomena alam ini. Murah-murah yak tiket masuk objek wisata di Madura ini…?! :D Disini ada dua spot api abadi, tapi yang dijadikan tujuan dan dikelola layaknya tempat wisata hanya satu, yang terbesar. Disini bisa dijumpai banyak pedagang souvenir khas Madura, mulai makanan sampai kerajinan tangan. Masayarakat sekitar memanfaatkan api abadi ini untuk memasak, entah itu untuk keperluan rumah tangga mereka ataupun untuk merebus jagung yang nantinya akan dijual kembali. Gak lama saya berada di tempat ini, hanya berfoto dan melihat dari dekat, kemudian langsung melanjutkan perjalanan pulang, panasss soalanya! Ngeliat api di jam 12.30 WIB! Hahaha...

Api Wedhok (sebutan masyarakat setempat)
Api Lanang (juga sebutan masyarakat setempat)

Sesampainya di Bangkalan, sempat mampir di Bebek Sinjay yang terkenal untuk makan siang dan setelahnya langsung jos ke Jember.

Touring ke Madura ini benar-benar menguras tenaga, ada sedikit rasa kapok, mending naik angkutan umum daripada harus mengendarai motor sendiri, hahaha… Dan, kesan saya terhadap Madura, panas dan berdebu! Tapi, janganlah memandang sebelah mata terhadap pulau ini, di dalamnya ternyata ada objek wisata yang begitu indah dan lain daripada yang lain...

Saya bersama dua orang travelmates, Hari dan Aaron

Senin, 19 September 2011

HARI PENGHAKIMAN



Senin, 19 September 2011

Hari ini bakal menjadi salah satu hari bersejarah bagi saya. Tepat jam 11.30 WIB, saya dinyatakan LULUS oleh dosen penguji saya di Fakultas Ekonomi Universitas Jember,. YEEAAAHHHH…!!! Setelah melewati susah senang kuliah sambil bekerja, saya bisa lulus juga. Banyak hal yang sudah saya alami at least 5 semester lebih sedikit belakangan ini. Mulai dari ruwet ketika KRS an, dapat kelas yang bentrok dengan jam kerja, begadang demi mengerjakan paper dan menyiapkan bahan presentasi sampai titip absen dan merayu dosen untuk memindah jadwal kelas pernah saya alami. Berat memang menjadi pegawai full timer sekaligus terdaftar sebagai mahasiswa S1. Tapi apa boleh buat, pada waktu itu saya bertekad untuk mendapatkan gelar Sarjana untuk kehidupan saya ke depan yang lebih baik.

***

Proses ujian skripsi dan pendadaran ini penuh liku, sebenarnya saya bisa wisuda di bulan Juli lalu. Tapi, karena harus menambah sampel di saat-saat terakhir, saya harus menghitung ulang dan molorlah jadwal wisuda saya, ditambah lagi harus membayar uang SPP T_T. Ngedroplah saya waktu itu! Menyelesaikan revisian menjadi suatu hal yang membosankan. 

Begitu juga saat saya mendaftar ujian, 2 minggu sebelum hari raya kemarin. Saya siap lahir batin untuk menghadapi ujian akhir ini saat itu, antara nekat dan benar-benar siap beda tipis. Inginnya sih bisa ujian di bulan Ramadhan biar dosennya gak killer-killer banget dan mudah untuk meluluskan mahasiswanya, tapi meleset!! Hahaha… Ujian saya ditunda sampai 3 minggu setelah hari raya!! Damn! Semangat belajar yang sudah menggebu-gebu, melempem begitu saja. Setiap waktu kosong, saya manfaatkan untuk ngluyur

Dua hari menjelang eksekusi, saya mati-matian berjuang menahan kaki saya untuk tidak nongkrong dan ngluyur, belajar menghadapi buku-buku tebel dan catatan-catatan. SUSAH! Saya hanya bisa memasrahkan segala sesuatunya kepada Tuhan, dengan sedikit usaha.



Hari penghakiman saya datang juga! Jam 09.30 saya berangkat ngampus. Berharap segala kemudahan diberikan Tuhan pada saya.  Jam 10.00 WIB, nama saya dipanggil masuk ke ruang dosen. Ternyata, ketua tim penguji saya, seorang dosen senior yang saya takuti, mendadak harus ke luar kota dan digantikan oleh dosen muda baru yang sempat saya ajak kenalan! #Keberuntungan pertama. Saat itu saya langsung berhadapan dengan 3 dosen penguji, efek positifnya saya bisa cepet keluar dan selesai dari saat-saat tegang seperti ini, efek negatifnya, mereka saut-sautan melontarkan pertanyaan, untungnya pertanyaan yang ada bisa saya atasi, bahkan si dosen baru tidak “berani” melontarkan pertanyaan ke saya, efek masih baru mungkin., hehehe… #Keberuntungan kedua. Hanya 45 menit saya berada di ruangan panas itu! Banyak temen yang jealous, tentunya, kok saya bisa cepet :D. Menunggu sekitar 1 jam, nama saya kembali dipanggil. Saatnya pengumuman!!! Dan ternyataaaa, SAYA LULUS!! Dengan nilai skripsi A dan nilai pendadaran B! Lumayan lah, not bad, yang penting LULUS!! Sudah bosan saya menjadi mahasiswa. Legaaaa rasanya, sebagian beban berat selama ini telah terangkat…

Perasaan senang begitu membuncah dan ada rasa bangga karena bisa kuliah dengan biaya saya sendiri, sekarang saatnya menatap masa depan dengan lebih percaya diri dan mulai membangun kehidupan. Thank’s GOD atas penyertaanmu yang ajaib! Kini nama saya ANDREAS DWI SETIAWAN, S.E

*sumber foto : Google

KULINER JOGJA

Banyak cerita tentang Jogja yang ada di dalam otak saya, salah satunya adalah masalah kuliner. Kita tahu bahwa Jogja tidak hanya kaya akan wisata budaya, tapi disana juga buanyak makanan-makanan enak yang wajib dikunjungi dan beberapa diantaranya pernah diliput oleh stasiun televisi nasional. Ketika di Jogja, saya sangat antusias diajak ke beberapa tempat makan dan mencoba menu andalan masing-masing tempat, mulai dari angkringan di pinggir jalan, cafe sampai ke restoran. Tentunya saya hanya antusias diajak makan makanan khas daerah setempat. Kan gak seru saya beli batagor atau pempek di Jogja. Salah tempat! Hehehe… Ternyata waktu empat hari belum cukup buat saya mencicipi makanan yang haujek di Jogja, hanya beberapa tempat yang berhasil saya kunjungi. Ini beberapa foto makanan dan minuman yang berhasil masuk ke perut saya, selain yang saya makan di Bale Raos, cekidot…

Nasi Kucing Angkringan KR

Porsi nasi kucing ini tidak begitu mengenyangkan, perlu minimal empat bungkus untuk membuat perut kenyang. Di dalamnya sendiri sudah ada oseng-oseng tempe yang dimasak agak pedas. Kalau sate usus dan tahunya seperti rasa pada umumnya dengan dominasi rasa manis...

 
Jamur Crispy Semesta Cafe
Oseng - Oseng Mercon
Ini salah satu kuliner tujuan saya, oseng-oseng mercon. Gak tau alamat pastinya dimana, katanya sih ini oseng-oseng mercon yang pertama ada di Jogja, dedengkotnya lah. Kenapa kok dinamai mercon? Ya karena rasa pedesnya itu! Pada awalnya terbuat dari irisan daging sapi, tapi lama-kelamaan sampai saat ini, daging sapi digantikan oleh kenyalnya kikil sapi. Gak tau alasannya kenapa... Rasa pedasnya mampu membuat saya mengeluarkan air mata (sedikit) haha... Bener-bener pedas! Tapi enak secara keseluruhan, rasa manis dari kecap dan sedapnya bumbu bercampur jadi satu... Hmmm, yummy!

Gudeg
Sebenarnya saya kurang menyukai gudeg, apalagi gudeg original Jogja, karena rasa manis ada dimana-mana. Ya, karena saya di Jogja dan Jogja itu identik dengan gudeg, maka dari itu saya wajib makan gudeg. Hahaha...

Bakmi Jawa Pak Rakiman
Selama di Jogja, saya juga sering membaca nama masakan ini di daftar menu beberapa lesehan, membuat saya ingin mencicipinya. Bakmi yang saya kunjungi ini sudah ada sejak tahun 1971. Warung ini ada di emperan toko dengan tikar sebagai alas duduk. Tepatnya di Jl. KHA. Dahlan Ps. Suryobrantan. Santai sekali ketika menikmati bakmi ini langsung di warungnya, apalagi ketika itu saya makan dengan iringan lagu dari pengamen jalanan, hemm... saya benar-benar ada di Jogja! hehehe... Rasanya sendiri gurih manis, dengan campuran bihun, irisan tomat, daun bawang, bakwan goreng dan telur orak-arik.

Wedang Ronde
Satu lagi yang ingin saya cicipi langsung di Jogja, wedang ronde. Saya sendiri sudah sering menikmati kehangatan ronde di Jember, tapi masih penasaran dengan ronde yang ada di Jogja. Isinya sih gak jauh beda, ada bulatan ronde yang berisi kacang dicampur sedikit gula merah dan irisan kolang-kaling disiram oleh kuah jahe yang hangat. Lebih minimalis daripada ronde yang sering saya makan di Jember.

Bruschetta Via - Via
Terakhir, ketika saya mampir di salah satu cafe di kawasan Prawirotaman. Cafe ini banyak didatangi bule-bule, mengingat terletak di kawasan yang banyak dibangun hostel, tempat para backpacker menginap selain Sosrowijayan. Masakan khas Italia ini berbahan baku roti, mirip garlic bread yang pernah saya makan di Pizza H*t, namun berbeda topping. Di atas roti, diberi adonan tomat yang dicampur dengan smooked beef, irisan kecil bawang bombay dan keju. Biasa sebenernya. Lho, katanya makan makanan Jogja, tapi ini kok malah makanan Italy?! Hanya sebagai referensi lain saja ketika nongkrong di tempat yang beda, sedikit internasional, hehehe...

Senin, 12 September 2011

MENCICIPI HIDANGAN KRATON JOGJA

GERBANG MASUK RESTORAN

Apakah Anda pernah bermimpi merasakan masakan yang biasa dihidangkan di dalam Kraton Yogyakarta dan disantap oleh anggota kerajaan dan tamu-tamunya?! Padahal Anda sendiri hanyalah orang biasa tanpa jabatan atau orang penting sejenisnya... Tenang, awal bulan lalu saya bisa mencicipi makanan kesukaan sultan-sultan Jogja mulai dari abad ke-18 sampai terakhir. Kok bisa?! Karena ada satu restoran di lingkungan kraton sana yang menyuguhkan berbagai hidangan kraton, mulai makanan pembuka, utama, penutup hingga minuman juga. Tepatnya di Jl. Magangan Kulon I, Kraton Yogyakarta. BALE RAOS namanya. Restoran yang dimiliki oleh Gusti Kanjeng Ratu Hemas ini menyajikan suatu kuliner yang berbeda dan berkelas.

Siang itu, Jumat 02 September 2011, setelah mengunjungi Taman Sari, perut sudah keroncongan. Akhirnya host saya menawarkan untuk makan siang di restoran ini. Saya langsung mengiyakan saja. Mendengar penjelasan yang diceritakannya, membuat saya ngiler dan hasrat untuk mampir kesana semakin besar. Kapan lagi kan ya, mumpung lagi ada di Jogja, ditambah saya juga pernah melihat restoran ini diliput di tayangan kuliner terkenal salah satu TV swasta nasional. Lagi-lagi kepengen segala sesuatu yang pernah diliput TV! Wkwkwk...

SANGKAR BURUNG BESAR PENYAMBUT TAMU
BAGIAN DALAM RESTORAN

Memasuki halaman restoran, sepeda motor harus dimatikan dan dituntun, karena lokasinya terletak di halaman belakang Kraton Yogyakarta. Begitu masuk, ada sedikit rasa keder. Gimana gak keder, saya melihat tata meja makan yang setara dengan restoran di hotel berbintang. Ada sapu tangan yang dibentuk kerucut, perlengkapan makan yang sudah tertata rapi di atas meja dan nuansa ruangan yang begitu memancarkan "aura" kalau ini adalah restoran berkelas, ditambah lagi dengan iringan gending Jawa yang mengalun perlahan. Wah, pasti harga terendah disini paling nggak IDR 50K. Tapi, berhubung sudah masuk dan duduk jeglek di salah satu kursi, gak mungkin dong saya keluar lagi, pasrah sajalah dengan bill yang bakal diterima! Hahaha.... Setelah disodori daftar menu, jreng...jreng...!! Kekhawatiran saya tidak beralasan! Ternyata meskipun milik ratu dan makanan yang disajikan adalah kegemaran sultan-sultan, range harga disini sekitar IDR 7K sampai IDR 40K saja. Gak terlalu menyeramkan kan?! Wah, nama-nama makanan dan minumannya benar-benar bikin penasaran. Dengan beberapa foto dan penjelasan singkat mengenai bahan baku serta makanan tersebut disajikan untuk apa, kegemaran siapa, dll membuat imajinasi saya berterbangan. Pengen rasanya mencoba seluruh makanan yang ada. Tapi semuanya kembali pada isi kantong! Wkwkwk...

TABLE MANNER DIPERLUKAN "SEDIKIT" DISINI

DEKORASI RUANGAN

Akhirnya, setelah mbolak-mbalik buku menu cukup lama, saya menjatuhkan pilihan ke "Lombok Kethok". Suatu olahan daging sapi dimasak dengan kecap yang diolah dengan sejenis jamur, potongan besar cabe hijau dan merah besar serta tomat seharga IDR 20K (IDR 24K termasuk nasi). Makanan ini merupakan hidangan favorit mulai dari Sri Sultan Hamengku Buwono VI hingga IX. Sekilas, rasa masakan ini gak jauh beda dengan semur daging, yang membuat beda adalah potongan cabe besar dan tomat, menambah kesegaran rasa ketika di mulut. Selain itu, yang saya suka adalah daging sapi nya bener-bener empuk dan lembut, mudah dikunyah, seperti sudah diungkep lama sebelumnya

LOMBOK KETHOK

Untuk minumnya saya memilih "Beer Djawa" (IDR 12K), sebuah minuman tradisional yang penampakannya mirip bir, tapi ini berasal dari berbagai macam rempah (sereh, kulit kayu secang, kayu manis, kapulaga, jeruk nipis dll). Minuman ini adalah kesukaan Sri Sultan HB VIII. Ketika disajikan, saya terperana dengan ukuran gelas yang tinggi, puas neh minumnya! Hahaha... Memang, sekilas tampilannya nyaris sama layaknya tampilan bir, dengan warna coklat kekuningan dan buih di atasnya. Tapi begitu diminum, berbagai rasa rempah-rempah langsung menyebar. Hangat dan segar. Jangan kira rasanya mirip jamu, ini jelas beda, lebih seger dan layak dijadikan minuman sehabis makan menurut saya.

BEER DJAWA
MENU LENGKAP

Intinya, saya suka makanan dan minuman di tempat ini. Selain interiornya Jawa banget (mencerminkan kalau kita sedang berada disalah satu tempat "elit" Jogja), rasa masakan dan minumannya juga pas di lidah. Tapi satu kekurangan menurut saya, porsinya kurang banyak! Hahaha... Porsi disini sepertinya porsi untuk bangsawan, dengan mengutamakan tampilan yang menarik. Bukan seperti saya yang tidak terlalu mempedulikan tampilan. Asalkan enak dan mampu mengenyangkan perut, saya pasti suka (atau perut saya yang gak gampang kenyang ya?!) wkwkwk...

HIDANGAN LAIN 1. ROTI JOK SEMUR AYAM
HIDANGAN LAIN 2. PECEL BUAH
HIDANGAN LAIN 3. WEDANG ADU LIMO

Anyway, bagi Anda yang sedang berkunjung ke Jogja, jangan lewatkan untuk mampir berwisata kuliner di tempat ini. Ada banyak menu tersedia, yang saya sendiri tertarik untuk mencobanya ketika punya kesempatan mengunjungi Jogja lagi di lain kesempatan. Satu hal terakhir, jangan tertipu dengan tampilan mewah gedung, interior dan pemiliknya, hehehe.... Jadi, gak usah ragu-ragu untuk masuk dan mencoba menu yang disediakan seperti saya...

TESTIMONI PENGUNJUNG


Rabu, 07 September 2011

Jogja "Never Ending Asia"



Jogja?! Mungkin untuk sebagian orang sudah biasa dan tidak ada lagi hal yang menarik. Tapi, untuk saya, Jogja merupakan salah satu kota yang paling ingin saya kunjungi. Kenapa?! Karena terakhir kali saya kesana, sewaktu kelas 6 SD di tahun 1999 dalam rangka tour perpisahan, hampir 12 tahun yang lalu! Hahay...! Selain itu, ada daya tarik tersendiri ketika melihat Jogja dari dunia maya. Budayanya yang begitu kuat, berhasil membuat saya ngiler untuk segera mengunjunginya. Mumpung ada libur panjang, saya langsung punya planning ke kota dengan julukan "Never Ending Asia" ini. Pada awalnya sempat memutuskan untuk solo backpacking, karena travelmates saya yang ternyata masih berjiwa labil, sebentar bilang iya, sebentar bilang gak jadi ikut, membuat saya bingung sendiri. Saya ini pengen menikmati liburan tapi kok malah dibuat pusing (maap curcol dikit, wkwk...). Tapi pada akhirnya, gak tau karena kasihan atau sudah gak punya tujuan liburan dan jadi bangke berdiam diri di rumah, salah satu temen saya, Aaron, memutuskan joint. Yippie, akhirnya punya travelmate, setidaknya perjalanan saya disana gak garing. Kan gak lucu, jalan-jalan sendiri, jeprat-jepret poto sendiri, alay banget nih anak! Hahaha...

Setelah Aaron deal dan tanda tangan di atas materai kalau memutuskan untuk joint (lebay "dikit"), saya langsung mencari host di Jogja. Kan sekalian mencari pengalaman untuk menjadi surfer melalui CouchSurfing "the real social network" nih ceritanya, hehe... Yang ada di benak saya, langsung muncul satu nama, HOHO, sebutlah begitu, karena tidak mau terlalu diekspos katanya, prettt...! Hahaha... Si Hoho ini merupakan salah satu CS'er Jogja dan pernah menghubungi saya beberapa bulan lalu untuk berkunjung ke Nusa Barong di Jember sini, tapi sayang, sekarang akunnya sudah ditutup. Gayungpun bersambut, setelah saya kontak, dia bersedia menampung saya dan Aaron di kostannya, daerah Kaliurang sana. Ternyata tidak hanya itu previllages yang saya terima, dia juga membuatkan ittenerary selama saya di Jogja, mencarikan sewa motor yang termurah dan tanpa uang jaminan (belakangan saya tahu kalau di Jogja, untuk penyewa lokal, uang jaminan bisa sampe IDR 1 juta!! Gile bener! Budget saya aja gak sampe segitu, hehehe...), menjemput di stasiun, mengantar ke tempat-tempat seru, menceritakan tentang adat-istiadat Jogja dan kemudahan-kemudahan yang lain. Sayang banget, saya gak bisa mengisi referensi positif di akun CSnya. Okelah, cukup disini ya saya menyanjung host CS "bayangan" ini, biar gak tambah gemuk kepalanya, haha...

Kamis pagi, tanggal 01 September 2011
Hari ini adalah hari yang saya nanti-nantikan, membuat saya tidak bisa tidur nyenyak malam sebelumnya, travelling syndrome-lah saya menyebutnya. Pagi ini, saya memulai perjalanan ke Jogja menggunakan jasa Logawa. Untung, saya beli tiket H-2 seharga IDR 30.500, jika beli sebelum berangkat, akan mengalami hal yang serupa seperti yang teman saya alami, SOLD OUT! Berangkat dari rumah jam 04.45, belum cukup membuat saya duduk santai dan melanjutkan tidur yang terpotong. Ternyata, di luar dugaan, penumpang Logawa bejibun! Buseettt!! Saya dan Aaron pun terpaksa bergantian untuk duduk sampai menemukan celah kosong ketika kereta berhenti di stasiun Madiun. Baru kali pertama ini saya menggunakan jasa kereta ekonomi untuk perjalanan jauh. Berbagai pengalaman unik pun dapat dengan mudah saya temui di sepanjang perjalanan, mulai dari ngobrol ngalor-ngidul dengan penumpang lain, berbagi makanan, akrab dengan anak penumpang sebelah berumur sekitar 2 tahun yang pengennya ikut saya mulu, bergantian berdiri, berdesak-desakkan di lorong kereta ketika penjual asongan melintas sampai mencium bau telur, gak tau ada orang yang sedang makan telur rebus ataukah ada yang kentut!! Ja**ok!! 
Jam 17.00 kami tiba di Stasiun Lempuyangan dan sudah ada wajah ramah Hoho yang menjemput di pintu masuk stasiun, lega... 

Senja di Lempuyangan

Langsung saja kita bermotor ke kosan Hoho. Tentunya saya tidak ingin menyia-nyiakan waktu hanya untuk numpang tidur di kota orang, oleh karena itu, setelah leyeh-leyeh sejenak dan mandi di kosan, kita langsung keluar mencari makan malam. Kebetulan perut saya dari pagi belum terisi nasi, hanya segelas Pop Mie yang saya beli seharga IDR 6K di dalam kereta dan cemilan-cemilan yang dibawa dari Jember. Tujuan awal trip kali ini adalah mencoba suasana angkringan. Angkringan yang kita datangi adalah angkringan KR yang berada di depan gedung Harian Kedaulatan Rakyat. Dengan makanan seperti sego kucing, aneka sate, gorengan berharga murah (saya habis sekitar IDR 5K untuk menikmati 1 bungkus sego kucing, 2 sate usus, tahu bacem dan segelas teh hangat) dan berada di trotoar membuat nongkrong di tempat ini terasa nyaman, gak salah kalau di Jogja mudah dijumpai angkringan sebagai tempat ngumpul santai bersama kerabat.

Ankringan KR

Setelah perut “agak” terisi, perjalanan kita lanjutkan untuk mampir ke Café Semesta dengan berbagai olahan kopi dan cemilan khas café lainnya. Kemudian nongkrong di titik 0, dimana titik ini merupakan titik tengah garis imajiner Jogja. Dengan kata lain, di Jogja itu dipercaya bahwa antara Gunung Merapi dan Laut Selatan (Parangkusumo) terletak sejajar pada suatu garis, dan titik nol ini tepat berada di tengah-tengah keduanya . Gak banyak yang bisa temui disini, selain anak-anak muda yang nongkrong dan melakukan atraksinya (main sepeda, musik, dll), istana peristirahatan presiden dan ada kotak kaca yang berisi kain batik berbagai motif beserta penjelasannya. Sempat poto-poto disini dengan background bangunan BNI 46 yang kuno dan tulisan aksara jawa.

Salah satu sudut Titik Nol

Perjalanan hari pertama ini ditutup dengan mengunjungi Alun-alun Kidul. Gak afdol rasanya kalo ke Jogja tanpa mampir ke Alun-alun Kidul ini dan mencoba melewati dua pohon beringin besar dengan mata tertutup. Yup, host saya menawarkan pengalaman itu. Kenapa gak dicoba aja, mumpung lagi ada di Jogja. Akhirnya dengan mata tertutup saya berusaha berjalan ke arah dua pohon besar itu. Dan you know what?! Setelah membuka penutup mata, saya heran kok posisi saya hampir sama seperti pertama kali saya berdiri. Ternyata kata teman-teman, saya hanya berjalan memutar, tanpa ada tanda-tanda mendekati pohon! KONYOL! What a funny experience I think, hahaha... Disini juga dapat ditemui semacam becak dan sepeda tandem yang berhiaskan lampu warna-warni, pengen nyoba, tapi setelah diberi penjelasan kalau sewa itu untuk 3x putaran alun-alun, ya batal deh, capek...

Jumat, 02 September 2011
Hari kedua, rencana hari ini adalah menyusuri tempat wisata sekitaran kraton, seperti cemeti dan Taman Sari, Candi Borobudur, nonton ketoprak banyolan dan tetep, mencoba kuliner khas Jogjakarta. Tujuan pertama adalah Cemeti. Saya sendiri kurang paham untuk apa bangunan ini dibuat. Yang saya lihat disini adalah bengunan dengan lorong-lorong dan terowongan bawah tanah, mungkin semacam benteng pertahanan atau gudang di zamannya. Saya juga mendengar mitos mengenai salah satu sudut lorong yang dibuntu oleh batu bata, tetap berkaitan dengan penguasa laut selatan.

Cemeti 1

Cemeti 2

Tujuan kedua adalah Taman Sari atau yang dikenal dengan sebutan “Water Castle”. Ini merupakan tempat peristirahatan Sultan dan keluarganya, terdapat kolam pemandian dan beberapa ruangan-ruangan khusus. Saya menyukai desain bangunannya, terbuat dari batu berwarna putih dengan berbagai ukiran di temboknya, membuat bangunan ini terlihat anggun. 

Gerbang masuk Taman Sari

Bagian dalam Taman Sari

Selanjutnya kita ke Borobudur!!! Yey! Salah satu tujuan utama saya mengunjungi Jogja. Kangen cuy, setelah lebih dari sepuluh tahun tidak menjejakkan kaki disana… Hahaha… Karena host saya sudah 6 kali mengunjungi Borobudur dalam satu bulan terakhir ini, jadinya dia gak bisa menemani dan akhirnya kami nebeng ceweknya yang juga akan mengantar temennya ke Borobudur. Perjalanan sekitar 1 jam an dari pusat Jogja ditempuh dengan memacu adrenalin. Gimana nggak, temen perjalanan saya yang menjadi penunjuk arah ini bisa dibilang lady biker! Kita melaju sekitar 80-90 km/jam di jalanan lumayan longgar!! Gile beneerrrr…!! Seakan punya nyawa lebih dari satu, dia enak banget njliut-njliut di sela-sela mobil, bahkan dalam keadaan mobil berhenti di lampu merah! Seruuu!! Hahaha…. Seperti dugaan awal, Borobudur penuh sesak pengunjung. Maklum, liburan hari raya. Seneng banget pas bisa menyentuh relief-relief candi Budha itu. Seakan-akan memori masa-masa rekreasi SD di tahun 1999 dulu melintas di depan mata saya.

Gerbang Borobudur

Borobudur

Malam harinya, sebagai penutup perjalanan, kembali saya diajak untuk menikmati kebudayaan Jogja. Kali ini ke Taman Budaya. Ngapain?! Untuk melihat ketoprak banyolan, “Kethoprak Ringkes Tcap Tjonthong”, katanya sih ini grup ketoprak legendaris, dengan Marwoto sebagai salah satu anggotanya. Nonton ketoprak ini seperti nonton ketoprak humor yang pernah eksis di salah satu stasiun TV beberapa tahun silam. Tidak henti-hentinya saya ketawa ngakak karena banyolan pemain atau suara ketawa penonton yang lain. Wkwkwk...

Marwoto in action

Sabtu, 03 September 2011
Ittenerary hari ini adalah mengunjungi Merapi, Malioboro, museum Ullen Sentalu, Candi Sewu, Candi Prambanan dan Ratu Boko. Pagi-pagi sekali jam 06.00, saya harus melawan kantuk setelah malam sebelumnya kita ngobrol sampai jam setengah tiga dini hari! Katanya sih, kita akan mengunjungi lokasi rumah Mbah Marijan dan melihat puncak Merapi. Tapi sayang, pagi itu sesampainya di lokasi, kabut sudah turun dan puncak Merapi pun tak tampak. Gapapa lah, toh saya masih bisa mengetahui dimana lokasi kali terakhir Mbah Marijan sebelum wafat dan melihat secara langsung bagaimana dahsyatnya amukan wedhus gembel. Setelah dari Merapi, kita melanjutkan perjalanan ke Museum Ullen Sentalu, masih di daerah Kaliurang. Dengan membayar tiket seharga IDR 25K, kita dapat mengetahui lebih dalam mengenai silsilah kerajaan dan putri-putri keraton, baik Keraton Solo ataupun Keraton Yogyakarta. Dengan didampingi seorang guide kita diajak berkeliling melihat foto-foto, hasil kerajinan tangan, seperti batik dan puisi yang ditulis oleh putri keraton. Intinya, museum ini ingin menonjolkan kepintaran dan kecantikan putri-putri keraton. 

Tetengger rumah Mbah Marijan

Salah satu patung di Ullen Sentalu

Sore harinya, kita mengunjungi Candi Sewu dan Prambanan. Kedua candi ini berada di kompleks yang sama. Tidak terlalu ramai seperti di Borobudur kemarin, saya bisa leluasa mengambil gambar disini. Hehehe… Sekitar jam setengah lima sore, kita cabut ke Ratu Boko, ini bukan candi, tapi sejenis istana yang didirikan jauh di atas bukit. Dari atas sini, kita bisa memandang Candi Prambanan di kejauhan. Saran saya, pergilah ke sini ketika sunset, jika langit cerah, Anda akan menemukan pemandangan alam yang luar biasa indah. Sayang sekali, waktu saya tidak tepat. Di ujung barat, tampak langit tebal yang menghalangi matahari.



Candi Sewu


Candi Prambanan

Ratu Boko

Malam hari, mengingat ini malam terakhir kami di Jogja, saya tidak ingin melewatkannya begitu saja. Setelah menghabiskan satu piring Bakmi Jowo dan mencoba wedang ronde asli khas Jogja, kami sempat ke kawasan Sosrowijayan, yang terkenal sebagai lokasi penginapan murah layaknya Poppies Lane di Kuta sana. Sempat nongkrong di salah satu café yang isinya bule-bule semua dan memesan sebotol bir ukuran besar dan seporsi bruschetta. Setelah itu, iseng-iseng saya dan Aaron diajak Hoho menyusuri Sarkem alias Pasar Kembang, yang kebetulan tidak jauh dari Sosrowijayan. Bagi yang belum tahu, Pasar Kembang jangan diartikan sesuai namanya. Itu bukanlah pasar yang menjual bunga, tapi merupakan nama jalan, dan disini merupakan kawasan merah, lokalisasi lah nama kerennya hahaha… Begitu masuk gang, kami langsung ditawari oleh salah satu mami dengan berbisik, walau kami tetap berjalan terus “Di dalam banyak yang muda-muda mas…”. Lagu dangdut koplo terdengar bergantian, kami terus jalan. Di akhir gang, Hoho dan saya kaget. Kenapa?! Karena tangan kami langsung ditarik oleh salah seorang “kembang” di gang itu… hahaha… Sebuah pengalaman jalan-jalan yang lain menurut saya. Keluar dari daerah panas, kami sempat foto-foto di Tugu Jogja dan dilanjutkan dengan nongkrong di angkringan yang menawarkan kopi aneh, bernama kopi jos. Saya gak tahu lokasi pastinya dimana, yang saya ingat adalah di jalanan itu terdapat beberapa penjual dengan pengunjung yang ruame banget di sepanjang trotoar. Kondisinya hampir mirip dengan Wedang Cor Perhutani, tapi dengan massa yang lebih banyak dan di pinggir jalan. Kenapa kok saya bilang aneh?! Gimana gak aneh, di dalam kopinya dimasukkan arang yang membara, dicemplungkan begitu saja. Tapi anehnya, gak ada rasa sepat seperti perkiraan saya sebelumnya. Rasa kopinya seperti rasa kopi biasa. Tidak ada yang aneh. Saya tidak tahu apa manfaat dari arang yang membara itu, apakah hanya sebagai aksesoris atau memang ada efek khususnya. 

Penampilan Kopi Jos

Minggu, 04 September 2011
Yaaa, gak kerasa saya sudah empat hari tinggal di Jogja ini. Waktu yang sangat singkat untuk menikmati kekayaan budaya yang ada. Berat rasanya melangkahkan kaki untuk mandi. Huft, saya ingin tinggal lebih lama lagi di kota yang tenang dan masyarakatnya ramah ini. Jam setengah tujuh kita berangkat ke Stasiun Lempuyangan berharap mendapatkan tiket Logawa jurusan Jember. Si  mbak penjual tiket, pas kita datang, bilang kalau Logawa hanya bisa dibeli pada hari H, satu jam sebelum pemberangkatan. Karena jadwal keberangkatan jam 09.15, pagi-pagi lah kita ke stasiun. Ketika parkir motor, terlihat antrian yang mengular panjang sekali, membuat hati saya gak tenang. Dengan mempercepat langkah, saya menuju loket dan bertanya. Daaaaannnn, jawaban yang saya dapat adalah “Maaf, tiket untuk Logawa sudah habis terjual….”. DAMN!! Ini yang salah saya karena kurang pagi ataukah informasi dari mbak penjual tiket??! Padahal ini masih 2 jam sebelum jadwal pemberangkatan!! Langsunglah, tanpa dikomando, saya diantar Hoho ke terminal dan dengan terpaksa pulang ke Jember dengan menggunakan jasa Bis Mira jurusan Surabaya dan oper menggunakan Patas ke Jember. Karena saya ingin merasakan tidur yang layak sepanjang perjalanan pulang, mengingat besok pagi harus kembali bekerja.

By the way, terima kasih atas kesediaan mas Hoho untuk menampung saya dan Aaron, menemani keliling Jogja, mengajak ke tempat-tempat seru dan kebaikan-kebaikan lainnya. Semoga di lain waktu, kita bisa ketemu dan jalan-jalan bareng lagi. Saya sangat menyukai Yogyakarta, kota dengan seribu budaya dan kesederhanaan yang mampu membuat saya kangen dan ingin mengunjunginya lagi di lain kesempatan. Jogja “Never Ending Asia.

Terakhir, inilah total biaya perjalanan saya selama 4 hari 3 malam :
1. Tiket Logawa Jember-Lempuyangan IDR 30.500
2. Sewa penginapan GRATIS (kan make jaringan CouchSurfing ;p)
3. Sewa motor (dihitung 3 hari saja ^_^d) @ IDR 50K / day, total IDR 150K / 2 orang
4. Beli bensin IDR 55K / 2 orang
5. Makan, minum & cemilan IDR 150K
6. Cemeti + Taman Sari gratis (lewat belakang, cuma bayar parkir motor ^_^)
7. Borobudur IDR 30K
8. Tiket nonton ketoprak IDR 15K
9. Merapi IDR 3K
10. Ullen Sentalu IDR 25K
11. Prambanan IDR 10K / 4 orang (lewat belakang lagi dan hanya sedikit orang yang tahu ^_^, kalau tiket resmi IDR 27K)
12. Ratu Boko IDR 15K
13. Parkir IDR 15K
14. Bis ekonomi AC Jogja - Surabaya IDR 45K
15. Bis patas Surabaya - Jember IDR 46K
16. Lin dari Tawang Alun IDR 5K

Total setelah saya hitung, trip kali ini menghabiskan budget sekitar IDR 485K, mungkin sedikit mahal karena kita juga ingin berwisata kuliner, mencicipi kuliner yang disajikan di lesehan pinggir jalan, cafe sampai ke restoran di kawasan keraton. Daaannn, ada kejutan pas pulang yang membuat kita terpaksa naik bus yang membuat budget membengkak.