Senin, 23 April 2012

Rumah Baru >>> www.andrelanjalan.com

Caution : Postingan ini hanya sekedar pemberitahuan...

Sekarang saya mempunyai domain pribadi berakhiran (dot) com lho! Uyeee...! Setelah sekian lama ngiler, akhirnya ada satu teman yang berbaik hati mengurus segala sesuatunya, hehehe...

Tampilan web baru saya otomatis lebih menarik dan saya berusaha memperbaiki tulisan di setiap postingan. Semoga blog baru saya bisa lebih memikat hati kalian yang sudi mampir disini (ceileee...).

Jadi, jangan lupa berkunjung ke www.andrelanjalan.com ya... :D

Cheers,
Andre

Rabu, 11 April 2012

Sehari di Toraja


Akhirnya saya bisa menapakkan kaki di Tana Toraja. Salah satu destinasi wisata yang sebelumnya hanya berada di angan-angan. Berbekal itinerari yang dibuat oleh seorang kawan, saya nekat mengunjungi Tana Toraja ketika berada di Makassar tanggal 22-24 Maret 2012 lalu. Bayangan akan sempitnya waktu yang ada dan jarak tempuh yang jauh dari kota Makassar tidak menyurutkan niat saya untuk mengeksplor Toraja walaupun hanya dalam waktu 1 hari. Banyak orang yang meragukan rencana saya kala itu. Waktu yang terlalu singkat, tidak cukup bagi saya untuk menikmati keindahan yang ditawarkan Toraja, begitu argumen mereka. Namun, karena TEKAD, akhirnya saya tetap memberangkatkan diri. Bersama seorang travelmate cewek asal Bekasi, Anya, saya mengeksplor Tana Toraja di tanggal 23 Maret 2012.

 ***


Setelah sampai di Makassar, sore harinya saya langsung diantar host saya untuk memesan tiket bus menuju ke Tana Toraja. Ketika itu dia memilihkan Bus Litha untuk mengantarkan saya ke Toraja. Harga tiket bus ekonomi hanya IDR 80 ribu/orang. Tanpa banyak cingcong, saya langsung memesan 2 buah tiket. Bus Litha meninggalkan Makassar menuju ke Toraja jam 8 malam waktu setempat.

Setelah sekitar 9 jam menembus malam dan tidur di atas kursi bus, akhirnya tepat pukul 5 pagi, saya tiba di Rantepao, Toraja Utara. Udara sejuk dan dingin menusuk tulang khas dataran tinggi, langsung menyambut kehadiran saya. Berniat mencari rental motor, tapi semuanya masih tutup. Kantor-kantor dan usaha disini baru buka jam 6 pagi. Ngemperlah saya waktu itu, menumpang buang air kecil, cuci muka dan ngecharge hape di kantor perwakilan Bus Batutumonga, hehehe...
 
Setelah berhilir mudik dan bertanya ke lebih dari 3 orang penduduk local untuk mencari-cari rental motor, akhirnya saya menemukannya di depan gereja Katholik Rantepao. Dengan harga hanya sebesar IDR 50 ribu / 8 jam (inc. bensin 1 liter), saya memberanikan diri menyewa motor yang terlihat tidak dalam kondisi prima itu. Dengan rem yang sedikit tidak pakem, pijakan gigi yang menjorok terlalu dalam dan beberapa ketidaknyamanan lainnya membuat saya ketar-ketir di awal. Tapi dengan alasan murah dan diburu waktu, akhirnya saya mengeluarkan KTP dan menyerahkannya ke pengelola.

Belut Pamarasan
Motor sudah didapat, sekarang saatnya sarapan! Saya menghentikan laju motor di salah satu warung makan yang terlihat sederhana di depan patung kerbau. Sekenanya sih, tapi jangan salah. Ternyata si ibu penjual, yang pada akhirnya saya tahu bahwa dia adalah isteri Kepala Dinas Pariwisata Toraja Utara, menyediakan berbagai kuliner khas lokal. Saya memesan seporsi Belut Pamarasan, belut yang dimasak dengan sayur pangi. Sedangkan Anya memesan Ayam Dangkot, ayam yang dimasak dengan kelapa muda, sereh dan kunyit. Keduanya bercita rasa pedas. Enak sih, saya juga diberi bonus sebungkus jajanan khas yang terbuat dari singkong. Kalo di Jawa sih dibilang lemet. Dengan harga total IDR 30 ribu (inc. sebakul nasi yang masih tersisa banyak), membuat perut saya kenyang dan siap untuk mengeksplor Toraja 10 jam ke depan.


Berbekal peta dan info dari pemilik motor, sayapun mengikuti setiap garis jalan yang nampak di fotokopian peta tersebut. Sebenarnya, wisata di Toraja ini hanya ada 2 kelompok besar, melihat rumah Tongkonan dan kuburan adat. Jadi tidak perlu berkunjung ke semua tempat, karena sebagian besar memiliki kemiripan. Selain itu, jarak antara lokasi wisata satu dan yang lainnya searah dan tidak begitu jauh, kecuali kamu mau ke Batutumonga, sebuah dataran tinggi di Tana Toraja. Sekedar tips, jika kamu berencana hanya mengeksplor Toraja dalam satu hari seperti saya, jangan terlalu banyak membuang waktu di satu lokasi wisata. Karena berdasarkan pengalaman saya kemarin, satu lokasi wisata cukup dikunjungi tidak sampai 30 menit, itupun sudah termasuk mengambil foto landscape dan bernarsis ria, hehehe...

Menuju ke selatan, kita bisa mengunjungi beberapa lokasi wisata yang searah. Sebut saja Buntu Pune, Ke'te' Kesu', Kambira, Lemo, Londa dan beberapa tempat lain yang saya lupa namanya, hehehe...

Tau-Tau
Tempat pertama yang saya kunjungi adalah Buntu Pune. Disini kita dapat melihat rumah-rumah Tongkonan berdiri dengan eloknya. Dihiasi beberapa tanduk kerbau di bagian depan rumah, menjadikan rumah adat Toraja ini berciri khas. Selanjutnya saya bermotor menuju Ke'te' Kesu'. Ini adalah salah satu tujuan utama setiap turis berkunjung ke Toraja. Karena lengkap. Ada beberapa rumah Tongkonan berjajar rapi, sawah yang menguning, beberapa batu megalithikum, kuburan kuno dan ada Tau-Tau (patung kayu yang dibuat mirip dengan orang yang meninggal, lengkap dengan pakaian dan perhiasan). Peti mati disini ada yang besar untuk beberapa jenazah di dalamnya, serta ada peti mati yang diletakkan begitu saja di sebuah bukit dengan tulang belulang berserakan.

Mengapa kuburan di Toraja ini selalu di bukit?! Jadi, disini ada kepercayaan bahwa semakin tinggi jenazah di tempatkan, maka semakin cepat arwahnya sampai ke Nirwana. Selain itu, ada tiga jenis cara menguburkan jenazah. Yang pertama, jenazah dimasukkan peti yang kemudian diletakkan di dalam dinding goa yang sudah dilubangi dan membuat patung kayu setelahnya. Kedua, dibuatkan peti besar yang nantinya di dalam peti itu bisa dimasukkan beberapa jenazah kerabat. Cara seperti ini hanya biasa dilakukan oleh orang kaya. Yang terakhir adalah dengan cara dimasukkan ke dalam peti kemudian digeletakkan begitu saja di tanah. Unik ya? Itulah keistimewaan Toraja.


Setelah dari Ke’te’ Kesu’, saya melanjutkan perjalanan ke Kambira. Jalan menuju ke tempat ini sangat ciamik!! Sawah luas yang sedang menguning dilatar belakangi pemandangan gunung dan langit yang biru. Serta nampak beberapa petani yang sedang beraktifitas. Hmm, sulit menggambarkan pemandangan yang saya lihat saat itu. Namun sayang, saya sempat jatuh ndlosor di aspal!! Gara-gara motor yang tidak nyaman, jalan beraspal yang sempit berlubang dan kaget melihat mobil di depan yang akan berpapasan. Damn!! Beruntunglah saya hanya luka ringan dan travelmate saya baik-baik saja... Tengsin?! Jelas! Hahaha... Tapi gak papalah, harap maklum #maksa. Oke, setibanya di Kambira, saya harus membayar tiket sebesar IDR 10 ribu. Lokasi wisata yang satu ini sepi, tidak ada pengunjung lain selain saya dan Anya. Well, ternyata ini adalah kuburan bayi yang disebut Liang Pia atau Passiliran. Yang unik disini adalah jenazah bayi-bayi itu diletakkan di batang pohon besar, dengan cara melubangi batang tersebut, menutupnya dengan semacam ranting dan diikat dengan menggunakan tali. Beberapa diantaranya sudah berusia ratusan tahun lho... Hanya butuh waktu 15 menit berdiam di lokasi ini dan kita melanjutkan perjalanan.


Lokasi selanjutnya adalah Lemo. Dengan pemandangan persawahan khas Toraja, disini kita bisa menjumpai kuburan di dinding terjal sebuah bukit. Ya, dinding batu kokoh itu dibuat layaknya almari dengan pintu kayu di depannya, digunakan untuk “menyimpan” jenazah. Konon, ketika ada pemakaman, diadakan ritual khusus yang membuat si jenazah melayang dengan sendirinya ke tempat persemayaman terakhirnya di atas bukit sana. Ketika prosesi gaib itu dilakukan, tidak boleh ada kegaduhan, termasuk suara anak yang menangis, jadi tidak ada yang membawa serta anak kecil saat itu. Tidak tahu apakah hal itu benar-benar terjadi, namun yang pasti di jaman modern sekarang, prosesi pemakaman tidak ada hal yang aneh-aneh seperti itu lagi, menurut jawaban orang lokal yang saya temui. Kamu juga bisa mendapati Tau-Tau disini. Patung kayu itu juga diletakkan di dinding bukit. 


Selesai dari Lemo, jam sudah menunjukkan sekitar pukul 12.30 WITA. Saatnya makan siang. Saya dan Anya kembali ke pusat kota Rantepao untuk mencari kuliner lokal lainnya. Eh, ternyata di art centre dekat pasar, sedang digelar acara “Festival Kuliner Khas Toraja” yang pertama!! Widih, Tuhan begitu baik kepada saya. Diberi cuaca cerah selama di Sulawesi Selatan ini, dapet host murah hati, dapet travelmate ke Toraja dan sekarang memberikan bermacam-macam hidangan khas Toraja di hadapan saya. Akhirnya saya makan siang dengan lauk Pantollo’ Burak, ayam yang dimasak dengan irisan batang pisang kepok yang masih muda, parutan kelapa muda, sereh, jahe, irisan bawang merah dan putih, cabe serta garam dan penyedap rasa. Rasanya?! Hmm, gurih dan krenyes-krenyes, nikmat sekali! Dengan segelas jus terong belanda membuat perut saya dimanjakan. Di tempat ini pula saya bertemu dengan seorang ibu yang menjual kue dan ngobrol ngalor ngidul. Orangnya ramah. Dia juga sempat mengantar saya dan Anya berkeliling pasar, menunjukkan toko kopi khas Toraja langganannya. Saking baiknya, dia mengijinkan saya untuk menginap di rumahnya jika berkunjung ke Toraja, yang entah kapan saya akan mengunjunginya lagi.


Pantollo’ Burak
Puas dimanjakan kuliner lokal dan atraksi kesenian setempat, sebenarnya saya ingin berkunjung ke Batutumonga. Ibu tadi berkata bahwa ini adalah the best spot in town! Penasaran kan?! Tapi berhubung jaraknya yang jauh, hampir 1,5 jam berkendara dari pusat kota Rantepao, akhirnya saya hanya bisa balik kucing. Dikejar waktu euy! Akhirnya, setelah mengembalikan motor sewaan, saya menghabiskan sisa sore itu dengan bercengkerama bersama Anya di pinggir jalan, hingga menjelang keberangkatan bus menuju Makassar. 

So, kesan selama hampir 14 jam berada di Rantepao, saya merasa damai. Wilayah kecil di Utara Toraja ini menyiratkan aura yang berbeda. Mungkin dikarenakan tradisi dan budaya yang masih begitu kental serta penduduknya yang ramah. Kuliner, Tongkonan dan kuburan menyisakan kenangan yang gak bakal saya lupakan. Pengalaman traveling baru di tempat yang jauh, bertemu orang lokal dan tentunya jatuh ndlosor dengan sepeda sewaan...

Lukisan Purba di Tengah Hutan Batu


Kamu pernah melihat gambar telapak tangan di dinding goa dalam sebuah buku pelajaran sejarah?! Ternyata goa tersebut berada di Kelurahan Leang-Leang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Goa yang kini menjadi salah satu tujuan wisata populer ini terletak tidak jauh dari Air Terjun Bantimurung. Jadi, jika kamu berencana ke Bantimurung, sempatkanlah untuk mengunjungi goa purba ini.

Leang-Leang sendiri merupakan bagian dari gugusan Karst Maros. Hutan batu yang luasnya mencapai 4.500 hektar (menurut wikipedia). Dengan luas tersebut, menjadikan salah satu wilayah karst di Indonesia ini menjadi yang terluas kedua di dunia, setelah South China Karst. Tidak salah memang, di sepanjang perjalanan menuju Goa Leang-Leang, selain hamparan sawah yang sedang menguning, sering saya jumpai batuan karst besar berwarna hitam teronggok di tengah sawah. Bukan hanya satu atau dua saja, tapi banyaaaakkk... Sungguh pemandangan yang lain daripada yang lain. Perpaduan antara sawah luas yang sedang menguning, birunya langit dan bebatuan karst membuat jalan poros ini begitu unik.


Dibutuhkan waktu kurang lebih 20 menit berkendara dari jalan besar menuju Goa Leang-Leang ini. Setibanya disana, kamu cukup membayar tiket masuk seharga IDR 10 ribu / orang. Murah kan ya?! Itupun sudah termasuk guide dari penduduk lokal, yang siap mengantar kita masuk ke dalam goa untuk melihat lukisan purba itu. Hanya pengunjung yang berkeliling bersama guide saja yang bisa masuk ke goa. Karena di pintu masuk goa terdapat pagar yang terkunci, dengan tujuan menjauhkan lukisan dari tangan-tangan usil.

Berdasarkan informasi dari guide lokal, Leang-Leang sendiri berarti “goa” dalam bahasa Bugis. Tidak salah memang, karena disini terdapat beberapa goa yang konon dulunya menjadi tempat tinggal manusia purba. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya temuan peninggalan jaman dulu, seperti perlengkapan makan, peralatan rumah tangga dan lainnya di sekitar goa. Pemandangan yang saya temui juga indah. Hamparan rerumputan hijau, sungai yang mengalir dan lagi-lagi batuan karst yang beberapa mempunyai bentuk unit teronggok dengan gagahnya.

Goa pertama yang saya kunjungi adalah Leang Pettakere. Untuk menuju ke goa ini, kita harus tracking sekitar 15 menit. Menyeberangi lapangan rumput, jembatan yang di bawahnya dialiri aliran sungai dan memanjat tebing. Tapi tenang saja, hanya di beberapa bagian dan tidak begitu curam kok. Bahkan pemerintah setempat sudah membuatkan tangga besi untuk memudahkan pengunjung yang penasaran akan lukisan telapak tangan itu. Konon, daerah ini merupakan tepian lautan, oleh karena itu batuan karst yang hitam itu dulunya adalah batuan karang di pinggir pantai. Dan kamu tahu?! Sekarang jarak laut terdekat adalah sejauh 15 km dari lokasi dimana saya berdiri saat itu.


Nama Leang Pettakere sendiri juga mempunyai arti. “Leang” berarti goa, “petta” berarti bangsawan dan “kere” berarti kepala yang dipenggal! Widih, berbau horor yak?!     Memang... Bapak guide bercerita kepada saya dan host saya, Nasruddin, bahwa dulunya ada seorang bangsawan yang menyimpan harta kekayaannya di sekitar goa ini. Dengan alasan kerahasiaan agar hartanya tidak diketahui orang, maka setiap budak yang membawa harta si bangsawan kesini, dipenggal setelahnya. Wuzz... Menghilangkan nyawa berapa orang untuk sekedar menghilangkan jejak ya?! 

Nah, setelah berada di dalam goa, kita dapat melihat lukisan berpuluh telapak tangan berwarna merah dan satu lukisan babi yang tertusuk di bagian jantungnya. Warna merah sendiri (lagi-lagi) kata si guide berasal dari semacam tanah liat. Jadi mereka menyemburkan larutan tanah liat ke telapak tangan yang ditempelkan di dinding. Dan walaaa, jadilah lukisan seperti yang saya lihat! Namun ada yang janggal, tidak semua telapak tangan itu berjari 5! Beberapa hanya terlihat memiliki jari 4! Ternyata, hal itu disebabkan oleh tradisi jaman dulu. Jadi, ketika itu, setiap ada anggota keluarga terdekat mereka yang meninggal, mereka memotong satu ruas jari mereka sebagai tanda berduka. Gilaaaakkk!! Untungnya saya hidup di jaman modern ini yak, hehehe...


Puas mengamati lukisan itu, saya diajak untuk mengunjungi goa yang lain. Jalan lagi sekitar 10 menit. Di goa kedua ini, selain masih ada lukisan telapak tangan dan babi, juga terdapat kerang yang telah menjadi batu. Di dasar goa juga banyak dijumpai cangkang kerang. Inilah yang membuktikan bahwa goa ini dulunya dijadikan tempat tinggal dan kerang-kerang itu adalah sisa makanan mereka. Kok tahu?! Jadi kalau diamati, semua kerang yang ada di situ, ujung bagian belakangnya telah tumpul. Tanda bahwa manusia jaman dulu memakan kerang tersebut. Katanya si guide lagi sih, hehehe...


Setelah beberapa menit di goa kedua, di akhir perjalanan kita diajak mengunjungi museum mini yang ada di sana. Ada apa saja?! Tidak banyak benda koleksi yang ada. Hanya beberapa foto beserta keterangan, benda-benda purba seperti perhiasan dari batu, peralatan rumah tangga dan sejenisnya. 

Jadi, jika kamu datang ke Makassar dengan pesawat terbang, sempatkanlah untuk berkunjung ke daerah ini. Kamu bakal menemukan landscape yang begitu indah, yang jarang dijumpai di daerah lain. Happy traveling!! :D

Mie Gila vs Mie Setan

Saat ini di Jember sedang booming depot yang menawarkan mie ayam dengan beberapa tingkat kepedasan, layaknya keripik singkong dari Bandung. Ditambah dengan nama yang eye catching seperti “Mie Setan” ataupun “Mie Gila” membuat siapa saja yang melintas penasaran dengan bentuk dan rasa yang ditawarkan, tak terkecuali saya. Banyak yang bilang Mie Setan lebih enak, namun sebagian orang berkata Mie Gila lebih sedap. Nah lo, karena begitu penasaran ingin membandingkan antara kedua mie fenomenal tersebut, akhirnya saya memberanikan diri untuk mencoba keduanya dalam satu malam.

Mie Gila
Pertama-tama saya berkunjung ke Kedai Mie Gila yang berlokasi di pertokoan Jl. Kalimantan, sederet dengan warnet Maxima. Malam itu tidak nampak antrean panjang sebagaimana malam-malam ketika saya lewat. Ruangannya tidak begitu besar, namun mampu menampung hingga 20-an orang menurut saya. Di menu yang terpampang di atas, selain mie gila, pengelola juga menyediakan berbagai olahan mie lainnya dan bakso. Sebut saja cui mie mangkok, mie pangsit ayam, mie ayam, mie jamur dan mie bakso. Mie gilanya sendiri ada 3 level kepedasan. Dengan masing-masing level mewakili jumlah sendok sambal yang dituangkan ke dalam mie.

Okey, saya memesan seporsi mie gila level 3 seharga IDR 8,000 dan segelas es teh, cuma ingin tahu seberapa pedas mie gila ini. Gak lebih dari 10 menit, mie pesanan saya sudah terhidang di atas meja. Seperti kebanyakan mie ayam lain, di atas mie diberi taburan ayam cincang, bawang goreng, daun bawang, 4 iris acar mentimun, kerupuk pangsit dan pangsitnya sendiri. Mungkin yang membedakan adalah mereka menambahkan sepotong daging asap tanpa digoreng. Porsinya juga pas. Bagaimana dengan rasanya?! Tekstur mie nya kenyal, namun masih over cooked menurut saya. Rasanya sendiri didominasi rasa pedas sambal, rasa ayamnya kurang berasa. Nothing special sih kalo menurut saya. Tapi jangan ditanya tentang pedesnya. Saya dibuat berkeringat dan mulut saya sempat kesemutan, hahaha... Acarnya seger, tapi sayang sedikit banget, jumlahnya kayak diitung! Hehehe... Dan daging asapnya lebih essip digoreng sih sebenernya...

Mie Setan
Setelah perut “agak” panas, saya melanjutkan perjalanan kuliner “hot” saya kali ini. Motorpun saya arahkan ke pertokoan di bundaran DPRD Jember, lokasi Mie Setan yang baru. Seperti namanya, depot ini punya andalan mie super pedas. Ukuran depot nya juga gak berbeda jauh dengan Mie Gila. Jumlah pengunjung saat itu, jauh lebih rame dibandingkan dengan Depot Mie Gila. Menu disini sedikit lebih bervariasi. Selain olahan mie yang sama dengan Mie Gila dan bakso, disini saya menjumpai ada mie anggel (mie setan, tapi gak pedes?!) dan mie jerohan. Kalau harga sih relatif sama, Mie Setan mereka bandrol dengan harga IDR 8,000. Kalau di Depot Mie Gila ada 3 tingkatan level pedas, disini ada 5 tingkatan, dan tampaknya pengunjung bisa memesan level yang diinginkan. Seperti beberapa pengunjung yang saya dapati memesan Mie Setan level 15!! Buseeetttt...! Karena ingin membandingkan, saya memesan Mie Setan level 3.

Ketika duduk, entah mengapa saya kurang nyaman dengan posisi bangku dan mejanya. Seolah-olah pemilik depot ingin memaksimalkan kapasitas pengunjung, tanpa memperhatikan kenyamanan pengunjungnya sendiri. Bayangkan, saya harus bersusah payah keluar masuk meja dan ketika menikmati minuman, punggung saya berhimpitan dengan punggung pengunjung belakang saya, pfiuh... Pelayanan juga lamaaa, mungkin setelah 30 menitan, mie pesanan saya baru diantar. Rame sih oke, tapi dengan jumlah karyawan sekitar 10 orang tampak hilir mudik di dapur, seharusnya membuat kinerja mereka lebih cepat bukan?! Jadi ribet sendiri melihat dapur yang lumayan kecil itu diisi hingga 10 orang, hehehe...

Penampilan Mie Setan ini juga tidak berbeda jauh dengan Mie Gila. Ada taburan ayam cincang, bawang goreng, daun bawang, kerupuk pangsit, pangsit, taburan merica, acar yang lebih banyak dan sepotong sosis. Rasanya bagaimana?! Saya lebih suka tekstur mie disini, kematangannya pas, kenyal-kenyal gimanaaa gitu. Rasa mie ayamnya juga jauh lebih terasa. Sedangkan tingkat kepedasannya menurut saya sih biasa. Levelnya ada di bawah Mie Gila. Saya yang memesan level 3 saja tidak dibuat kepedasan ketika melahap semangkuk mie ayam ini. Cuma untuk rasa, saya lebih suka Mie Setan ini, lebih sedap dengan bumbu yang terasa...

So, setelah membandingkan antara kedua mie fenomenal ini saya pribadi lebih memilih Mie Setan, dengan alasan rasa yang lebih sedap dan “berasa”...

Kesimpulan :

                    Mie Gila  VS  Mie Setan

  • tempat            7/10          7/10
  • varian menu       7/10          8/10
  • pelayanan         7/10          6/10
  • harga             8/10          8/10
  • rasa              7/10          8/10

Selasa, 20 Maret 2012

Being A Travel Writer?! Why Not...


Nge-blog itu menarik dan bikin addict kawan!! Suwer... Selama lebih kurang dua tahun punya blog pribadi, semakin kesini saya semakin terjerumus ke dalam dunia blogging, hahaha... Saya merasa beruntung karena pada awalnya sudah menentukan tentang tulisan bertema apa yang akan saya posting di blog. Bukan curhatan manja ala anak-anak alay (yang jadi tren di sekitaran saya waktu itu), melainkan lebih memilih tulisan mengenai jalan-jalan. Umum memang, tapi itulah kegemaran saya. Selain itu, dengan adanya tema di awal, lebih memudahkan saya membuat tulisan, yah walaupun kadang-kadang masih ada satu, dua, tiga dan... entah berapa tulisan mengenai omong gondrong yang kurang bermutu, hehehe...

Berhubung saya adalah seorang pegawai kantoran yang bekerja setiap Senin sampai Jumat, jam 8 pagi sampai jam 5 sore, tentunya “kurang” memiliki waktu untuk jalan-jalan. Kalaupun bisa, mungkin hanya lokasi wisata di sekitaran Jember doank, jiaaahhh... Blog jalan-jalan kok tujuannya cuma itu-itu aja! Nah, berawal dari “kegalauan” itulah saya menambahkan tema kuliner di “rumah” maya ini, toh menurut saya berkunjung ke suatu tempat kurang afdol rasanya jika tidak mencicipi kuliner yang menjadi ciri khas daerah setempat, betul?! #alaKiwil. Selain itu, membicarakan makanan juga gak bakal ada habisnya, banyak kuliner lezat diluaran sana jaaauuuuh melebihi jumlah tujuan wisata. Suatu ide briliant yang saya temukan untuk tetap “mengeksiskan” jumlah postingan di blog ini, hehehe...

Untuk memperbaiki kualitas sebuah tulisan, saya rela-relanya membeli buku tentang “travel writer” a.k.a penulis perjalanan. Buku yang saya beli berjudul “TE-WE”, means Travel Writer. Yup, sesuai dengan judulnya, buku sip karangan Gol A Gong (seorang penulis perjalanan kawakan) ini berisi tentang bagaimana menjadi seorang travel writer handal, yang pada akhirnya mampu menjual tulisan perjalanannya. Di dalamnya dimuat mengenai apa itu travel writer, bagaimana memulainya, berbagai jenis tulisan perjalanan, apa yang boleh ditulis dan yang dilarang sampai bagaimana memasarkan hasil tulisan kita ke majalah atau sejenisnya. Dengan gaya menulis yang sederhana, membuat saya mampu menghabiskan seluruh halaman (103) hanya dalam waktu semalam. Uwooo, bisa dimasukkan ke dalam track record pribadi neh, mengingat saya bukanlah tipe orang yang gemar menghabiskan waktu duduk manis sambil mebolak-balik halaman sebuah buku. Suatu hobi (atau profesi?) yang unik menurut saya. Jalan-jalan sambil menulis dan mampu menghasilkan pundi-pundi Rupiah setelahnya. Wew, bener-bener bikin ngiler yak?! Hehehe...


Gak hanya itu, baru-baru ini saya juga mengikuti sebuah workshop yang digelar oleh Hifatlobrain(dot)net. Lagi-lagi berhubungan dengan travel writer! Dengan pembicara Yudasmoro, seorang freelance travel writer yang menjadi kontributor majalah Jalan-jalan dan Garuda Inflight Magazine. Acara ini suwerrruu...!! Gak rugi saya meluangkan waktu seharian penuh untuk mendapatkan “sesuatuk” dari dia. Gak hanya materi seputaran travel writer saja yang saya dapat, namun juga diajak untuk terjun langsung ke lapangan demi mendapatkan suatu tulisan. Yak, hampir menjelang tengah hari, peserta dibagi per kelompok dan diumbar ke beberapa titik menarik kota Surabaya. Terserah mau naik apa meunju lokasi, motor, mobil, angkot ataukah berjalan kaki. Semua dilakukan untuk mencari bahan tulisan dan foto, serta membuat ulasan setelahnya. Suatu cara menarik yang juga dapat memperkenalkan wisata kota Surabaya menurut saya. Panas terik, keringat bercucuran, kemudian disusul dengan hujan badai yang menumbangkan banyak pohon renta di kota pahlawan saya rasakan. Semuanya hanya untuk mendapatkan tulisan perjalanan yang menarik.  Selesai?! Belum. Setelah menulisnya, hasil tulisan dan foto kita akan direview oleh mas Yudas. Wew, cuma bermodal IDR 15K saya bisa mendapatkan materi dan pengalaman yang oke, serta beberapa kenalan yang sudah malang melintang di dunia travel writing ini.



Saya juga bingung, kok bisa begitu antusias di dunia menulis perjalanan ini. Mungkin kadarnya semakin tinggi setelah saya memenangkan hadiah fresh money dari Adira Faces of Indonesia. Ada rasa bangga ketika tulisan kita menjadi “berharga”. Beneran lhoh... Terus apa target saya ke depannya? Yah, gak muluk-muluk menjadi seorang travel writer sih, tapi paling tidak tulisan yang saya posting di blog ini tidak memalukan dan semakin baik dari hari ke hari. Sukur-sukur suatu saat ada tulisan saya yang berhasil menembus ketatnya screening dari seorang editor majalah... 

Berawal dari blogging, dilirik editor majalah, jadi kontributor kemudian mampu menghasilkan tambahan pemasukan, who knows?! Betul...betul...betul...?! #alaUpinIpin.

Nah, bagi kalian yang mempunyai passion yang sama, tunggu apa lagi. Segera bikin blog, kemudian mulailah menuliskan kisah perjalananmu...

Rabu, 29 Februari 2012

AYO KITA NONGKRONG (di JEMBER)

Jember memang hanyalah sebuah kota kecil di ujung timur Pulau Jawa dan tidak banyak yang bisa dieksplor di kabupaten yang juga dikenal sebagai penghasil tembakau ini. Mungkin hanya dibutuhkan waktu 1 sampai 2 hari saja untuk menikmati segala pesona yang ditawarkan. Bagaimana dengan tempat hiburan dan nongkrong?! Hmm, banyak sih. Ada karaoke house, lounge bahkan club. Jangan bayangkan Jember itu sebagai kota yang benar-benar mati dan tidak cocok untuk dijadikan kota tinggal, hahaha... Nah, setelah "cukup" lama tinggal di Jember, saya mempunyai beberapa tempat nongkrong favorit yang bisa dijadikan alternatif ketika kamu berkunjung ke kota terbesar ketiga di Jawa Timur ini. Inilah beberapa rekomendasi saya :

1. Pujasera Citarum


Pujasera ini berlokasi di jalan kecil antara BRI dan Bank Mandiri Alun-alun Jember. Disini terdapat banyak sekali food stalls atau penjual makanan kaki lima. Walaupun hanya berlabel "kaki lima" namun makanan yang mereka jual tidak murahan. Banyak makanan enak disini. Menurut saya sih pujasera ini yang paling essip makanannya. Mulai dari jagung bakar, ayam goreng, kupang sampai seafood. Dari sekian banyak stand, kalau untuk sekedar nongkrong, saya memilih "Es Bogel" yang berada di ujung jalan. Kenapa?! Karena lokasinya memungkinkan saya untuk menikmati suasana lalu lintas alun-alun di malam hari. Biasanya sih saya juga membeli jagung bakar. Selain itu, disini kita bisa mendengar musik dangdut dengan suara keras dari kios VCD di sebelah penjual jagung bakar, rame oy! Tidak jarang kita dikagetkan dengan lagu yang lirik ataupun nadanya mengundang tawa, hahaha...


2. Wedang Cor Perhutani


Sisi menarik dari tempat ini menurut saya adalah "kesunyian" dan "kesederhanaannya". Berlokasi di gang sebelah kantor Perhutani Jember di daerah Sumbersari, kita bisa ngobrol santai dengan kerabat sambil menikmati gorengan dan wedang cor, sebuah minuman khas dari kota Jember. Karena lokasinya ada di dalam gang, maka jauh dari kebisingan kendaraan bermotor yang melintas. Warung ini beroperasi setiap hari, mulai pukul 17.00 sampai dini hari. 


3. Ketan Cethol Jompo


Berlokasi di "bawah" Jembatan Jompo, kita bisa menghabiskan malam dengan menikmati ketan bubuk, sate usus, gorengan, STMJ ataupun minuman hangat lainnya. Ketan ini buka sekitar jam 9 malam sampai dini hari.. Ya, semacam angkringan lah kalau di Jogja. Tempat ini juga asyik dijadikan "arena" ngobrol santai sambil sesekali melihat kendaraan yang sedang melintas di jalan raya.


4. Warung Tera'


"Warung" yang terletak di Jl. Hayam Wuruk ini menyajikan berbagai makanan khas Timur Tengah. Antara lain : kebab, nasi kebuli, roti maryam dan lain-lain. Kita bisa santai duduk lesehan menikmati makanan dan minuman sambil diiringi dengan alunan musik padang pasir. Disini kita juga bisa menikmati sisha sambil bercengkerama dengan kerabat. Warung ini buka mulai pukul 5 sore sampai dini hari. 


5. Restoran Hotel Royal


Kalau yang ini sedikit naik tingkatan teman, hehehe... Di restoran hotel yang baru saja beroperasi di Jalan Karimata ini kita dapat menjumpai berbagai makanan enak dengan harga yang masih rasional. Jangan tertipu dengan kemewahan tempat. Kamu bisa mendapati masakan Indonesia, Chinesse sampai Eropa seperti steak di kisaran IDR 8 ribu sampai IDR 50 ribu lah. Yang paling saya suka dari tempat ini adalah sofanya!! Ya, sofa yang bener-bener empuk dan amat sangat nyaman untuk dijadikan peraduan berleyeh-leyeh, sehingga kita bisa betah ngobrol berlama-lama di tempat ini. Hal itu juga ditunjang dengan suasana yang temaram dan cozy. Selain itu, disini juga terdapat LCD dan mereka mempunyai saluran TV kabel. Jadi kita bisa menonton film dari channel luar bersama teman-teman.


6. The Coffee Shop

Terpaksa upload yang ini guys, gak punya stok yang lain (harap maklum) ;p

Bisa dibilang kafe yang ada di Ruko Gajah Mada Square, Jl. Gajah Mada ini adalah salah satu kafe elit di Jember. Design interiornya sih keren. Pencahayaan yang temaram, tidak terlalu bising dan ada electone. Membuat siapa saja betah berlama-lama. Makanan dan minumannya juga enak kok. Nah, buat kamu yang narsis, cafe ini cocok dijadikan tempat unjuk gigi, hehehe... Meskipun tempatnya oke dan saya suka, namun saya jarang kesini, ya gara-gara harganya itu lho, terlalu menohok bagi orang seperti saya, hahaha... Sebagai gambaran, saya pernah makan spaghetti dan segelas chocolate ice (kalo gak salah), butuh duit sekitar IDR 40K. Bisa bangkrut kalo tiap weekend mengunjungi tempat ini. Tapi tidak ada salahnya sesekali kesini setelah gajian, wkwkwk...

Sebenarnya ada satu lagi tempat nongkrong favorit saya, yaitu ronde di depan Gedung Flexi Alun-alun Jember. Disana hanya dengan uang IDR 3.000, kita bisa menikmati semangkuk ronde dan FREE WIFI dengan kecepatan tinggi, plus bebas mau nongkrong sampai jam berapa, walaupun kita hanya pesan 1 mangkuk, wkwkwk... Ya, karena lokasinya yang berhimpitan tembok dengan Flexi Center (berada di trotoar), maka sinyal WIFI mereka masih bisa kita manfaatkan, walaupun hanya sampai Cafe Flexi tutup sekitar jam setengah sebelas malam. Namun sayang, sebelum tulisan ini saya posting, pemerintah daerah merelokasi para penjaja makanan kaki lima ini. Tidak lagi di depan Gedung Flexi, melainkan di sepanjang Jl. Kartini. Yah, agak bergeser dikit lah dari lokasi semula.

In memories
So, bagi kamu yang sedang berkunjung ke Jember dan bingung mau kemana, tidak ada salahnya mencoba tempat-tempat favorit saya di atas... :D