Kamis, 29 Desember 2011

BERKENDARA JAUH DEMI AYAM PEDAS GUMUKMAS

Ini dia warungnya, seperti rumah biasa, jangan sampai terlewat...
Ternyata Jember itu kaya akan berbagai jenis kuliner yang tidak kalah dengan kota-kota lainnya di Indonesia. Tidak hanya di daerah perkotaan, tetapi juga di daerah pedesaan yang jauh dari keramaian kita bisa mendapatkan kuliner yang mantab. Salah satunya seperti warung makan yang sempat saya singgahi di hari Senin kemarin, tanggal 26 Desember 2011. Warung yang menyediakan menu andalan ayam pedas dan terletak di Dusun Menampu, Kecamatan Gumukmas ini sebenarnya sudah lama saya dengar. Ternyata dari sekian banyak referensi yang mampir di telinga saya, hampir semuanya mengatakan jika ayam pedas di warung ini maknyus, meminjam istilah Pak Bondan, hehehe... "AYAM PEDAS PULOREJO BAPAK H. HASAN BASRI" namanya. FYI, warung ini merupakan cikal bakal ayam pedas di daerah Gumukmas dan telah berdiri sejak tahun 1980. Lho, bukannya ayam pedas yang fenomenal disana adalah "Ayam Pedas Hj. Rupini"?! Memang, namun semenjak Hj. Rupini meninggal, sang suami membuka warung dengan namanya sendiri, sedangkan trademark "Hj. Rupini" dipakai oleh anak mereka yang membuka warung di daerah Dusun Menampu juga tetapi berada di pinggir jalan utama, tidak seperti sang Bapak yang berada di daerah perkampungan.

Si pengelola warung
Penasaran?! Langsung saja meluncur ke TKP. Jika kamu kesulitan menemukan warung makan ini, langsung kontak saya dan saya akan menanyakannya ke teman yang jago dalam urusan hafal-menghafal letak suatu lokasi. Karena saya sangat bermasalah dengan menghafal lokasi, yang ada malah bikin nyasar, hahaha... Yang saya ingat hanyalah waktu tempuh Gumukmas dari Jember kota sekitar satu jam berkendara motor. Perlu diingat, warung ini beroperasi mulai jam 6 pagi sampai sekitar jam 6 sore.

Sesampainya di lokasi, saya melihat hamparan sawah dan ladang jagung. Ya, warung ini terletak di pedesaan dengan pemandangan ladang jagung di seberangnya. Pengunjungpun bebas memilih dimana mereka akan menyantap hidangan. Ada dua pilihan, di dalam warung dengan meja dan kursi "modern" atau bisa duduk santai di bale-bale di samping ladang dengan cara lesehan. Tentunya, saya dan beberapa teman lebih memilih lesehan agar bebas bercengkerama dan menikmati hijuanya pemandangan yang ada, lebih santai pula.

Area "formal"
Area "nyantai abeezzz..."
Warung ini menyediakan dua olahan ayam pedas, panggang dan kuah. Dengan porsi satu ekor ayam utuh, tidak dipotong per bagian. So, kamu mau tidak mau harus memesan satu ekor ayam untuk mencoba kelezatannya. Walaupun harus membeli satu ekor penuh, warung ini bisa menjual hingga 60 ekor per hari lho, bayangkan bagaimana tersohornya warung ini, hehehe... Karena penasaran, jadilah kita memesan dua-duanya. Tidak lama kok menunggu masakan siap disajikan, mungkin sekitar 15 menit.

Begitu dihidangkan, hemmm... ayam panggang pedas begitu menggoda selera. Di atasnya terdapat sambal yang membuat air liur siapapun mengalir deras, hehehe... Rasanya?! Mantab! Daging ayam kampungnya lumayan empuk dengan bumbu yang meresap dan aroma asap masih terasa. Ya, ketika saya masuk ke dapurnya, pemilik warung makan ini masih menggunakan tungku tradisional serta kayu sebagai sumber api. Pedas gak?! Hemm... Relatif ya. Kalau saya menilai, pedasnya dalam taraf "aman", sedang-sedang lah... Tapi bagi beberapa teman saya yang juga ikut dalam kesempatan itu, mereka makan sambil meneteskan air mata dan ingus mengalir keluar, hahaha....

Nih, cara masaknya, masih tradisional...

Ayam panggang pedas
Bagaimana dengan ayam pedas kuahnya?! Cukup sedaplah dengan kuah bersantan dan cabe rawit utuh yang banyak mengambang di permukaan kuah. Namun demikian, rasanya tidak mampu mengalahkan "Ayam Pedas Raminten" yang ada di Terminal Genteng Banyuwangi, menurut saya. Pedas dan kental kuah santan berbumbunya masih kalah jauh dengan Raminten. Satu-satunya jalan kalau Anda merasa kurang pedas, ya tinggal menggerus cabe yang ada...

Ayam pedas kuah
Dari kedua menu masakan yang sudah saya cicipi, saya lebih menyukai ayam panggang pedasnya karena rasa yang lebih nendang, baik bumbu maupun sambalnya. Jadi, bagi kamu yang sedang menungunjungi Puger atau kecamatan lain yang berada di dekat Gumukmas, tidak ada salahnya untuk mencari lokasi makan ini dan mencoba menikmati ayam pedas khas Gumukmas seharga IDR 60rb ini.



Tulisan ini juga dapat dibaca di sini

Kamis, 08 Desember 2011

MADAKARIPURA : MENYUSUR JEJAK PATIH GAJAH MADA


Madakaripura. Ahay, akhirnya saya berhasil mengunjunginya! Setelah di medio 2009 lalu saya hanya balik kucing karena ada suatu kepentingan yang lebih mendesak. Sabtu, tanggal 03 Desember 2011 kemarin, saya bersama empat orang sahabat mengunjungi air terjun ini. Lagi-lagi ini hanyalah perjalanan dadakan dan "keterpaksaan". Kenapa? Karena perjalanan ini bermula dari ancaman salah satu temen yang ngambek. "Pergi kesana atau saya turun di depan dan pulang ke Jember!!", begitu ancamnya, hahaha... Tapi, saya bersyukur karena ancamannya itu, saya berhasil melihat pesona yang ditawarkan Madakaripura, hehehe...

Madakaripura sendiri adalah air terjun yang terletak di Desa Sapih, Kecamatan Lumbang, Probolinggo. Konon, air terjun ini adalah tempat bersemedi Patih Gajah Mada. Tidak sulit menemukan lokasi wisata ini karena ada papan petunjuk besar di pinggir jalan yang bertuliskan "Air Terjun Madakaripura 5 km".

Sepanjang perjalanan kita akan disuguhi pemandangan hijaunya pepohonan di lereng bukit. So, walaupun jauh, kita tidak akan jenuh menyusuri jalan yang ada. Pohon, berbagai tanaman dan sejuknya udara membuat perjalanan terasa mengasyikkan, jauh dari ruwetnya daerah perkotaan. Aksesnya bagaimana? Jalan menuju lokasi ini sudah beraspal. Walaupun semakin mendekati lokasi jalanan semakin sempit, namun masih bisa dilalui mobil dengan lancar.


Begitu sampai di lokasi, ada loket yang menyambut setiap pengunjung yang datang. Setelah membayar IDR 2.500/orang kita bisa memasuki area wisata. Cukup murah kan untuk mengunjungi suatu kawasan wisata?! Setelah parkir, kita melanjutkan tracking menyusuri jalan setapak untuk menuju air terjun utama di ujung jalan. Cukup jauh dan berkelok, mungkin dibutuhkan waktu sekitar satu jam untuk menuju ke air terjun utama. Nah, agar tidak kesasar, disana ada banyak tour guide dadakan (masyarakat setempat) yang bersedia mengantar dan membantu pengunjung. Gak ada salahnya menyewa tour guide lokal seharga IDR 20K ini jika kamu baru kali pertama mengunjungi tempat ini. Selain bisa menunjukkan track yang tepat, kita juga bisa bertanya mengenai segala hal yang menyangkut Madakaripura ini. Tapi, untuk yang sudah pernah kesini atau barengan dengan rombongan yang sudah menyewa guide, tidak perlu menyewa, gak mungkin tersesat soalnya. Lumayan ngirit ongkos, hehehe...

Tracking menuju air terjun utama cukup menarik dan menantang. Kita diharuskan melewati jalan setapak dan beberapa kali menyeberangi sungai. Sepanjang perjalanan kita dimanjakan oleh damainya suasana lembah, hijaunya berbagai tanaman, indahnya bunga liar, kicauan burung, gemericik air sungai dan udara yang sejuk. Widdiiihhh, saya benar-benar menikmati tracking disini. Walaupun kaki sedikit pegel karena sebelumnya tracking di Bromo, tapi saya tidak menghiraukannya. Berjalan terus untuk menuntaskan rasa penasaran saya terhadap air terjun ini. 


Disini sebenarnya tidak hanya terdapat satu air terjun, tapi ada sekitar tujuh air terjun lainnya yang mampu menghibur kita! Hebbooohh... Begitu mendekati air terjun utama, tempat dimana Patih Gajah Mada duduk bersemedi, mulai kita jumpai penduduk setempat yang menyewakan payung dan menjual tas kresek. Payung digunakan untuk melindungi pakaian kita agar tidak basah, karena kita akan melalui jalur tepat di bawah air terjun lain yang tidak begitu deras. Sedangkan tas kresek digunakan untuk melindungi segala barang bawaan kita. Hemm... Saya menghiraukan mereka. Payung tentu saja saya tidak butuh dan kresek sudah dipersiapkan dari Jember! Hehehe...

Dan benar saja, semakin mendekati air terjun pamungkas, kita basah melewati air terjun "penyambut" yang jernih. Tapi itu seruuuu!! Ini yang dinamakan petualangan sebenarnya. Basah-basahan di bawah air terjun! Ahay! Sesampainya di air terjun paling besar di ujung jalan, saya benar-benar takjub akan keindahan yang ada. Namun, waktu kita berkunjung kurang tepat. Datang di saat musim penghujan dan siang pula. Membuat waktu kita berkunjung singkat karena diburu langit mendung dan juga warna air terjun utama ini sedang keruh, tidak sejernih pas musim kemarau. Tapi gak apa-apa lah, begini juga sudah bikin saya dan teman-teman berdecak kagum...


Tidak lama kita disana karena gerimis sudah jatuh ke tanah. Setelah bermain air dan basah kuyup, kita berjalan pulang dan mampir ke warung yang berada tidak jauh dari air terjun utama, sekitar 500 meter. Makan semangkuk mie instan, menyeruput teh dan kopi panas serta bercengkerama dengan sesama pengunjung, pemilik warung dan para guide lokal. Sungguh menyenangkan. Dari sana saya mendengar berbagai cerita, mulai dari tradisi di malam satu Suro, banyaknya orang yang berkunjung untuk mencari "ilmu" sampai bencana banjir yang sempat menelan korban.

Setelah melahap berbagai makanan ringan, kita kembali tracking menuju parkiran dan membasuh diri. Kamar mandi disini bersih dan terawat cukup baik. Dengan harga IDR 2K kita bisa menggunakannya untuk mandi membersihkan diri.


Satu hal yang cukup membuat saya kecewa, ketika sampai di parkiran, saya menjumpai mobil kita sudah dalam keadaan basah habis dicuci. Tampaknya masyarakat sekitar mencari tambahan penghasilan dengan mencuci setiap kendaraan yang terparkir, tanpa ada persetujuan pemilik kendaraan. Hmm... Bentuk premanisme yang sangat sangat halus.

Beberapa tips yang bisa saya berikan kepada kamu yang baru kali pertama mengunjungi lokasi wisata ini :

1. Waktu berkunjung paling tepat adalah di saat musim kemarau (sekitaran Agustus), untuk mendapatkan air yang jernih.

2. Bawalah pakaian ganti, tas kresek dan payung (bagi yang membutuhkan), karena dijamin 100% bakal basah.

3. Pakailah celana pendek dan sandal gunung atau sandal jepit sekalipun, karena tracking akan melewati sungai yang berbatu.

4. Bawa air minum bagi yang gak tahan haus, tracking membutuhkan waktu 2 jam an (PP).

5. Sewa guide lokal tidak mutlak walaupun kamu sedikit dipaksa, jika kamu bebarengan dengan rombongan lain yang sudah menyewa guide, kamu cukup mengikuti mereka dari belakang.


Selasa, 06 Desember 2011

BROMO... LAGI, LAGI DAN LAGI


Saya percaya setiap perjalanan mempunyai kisahnya sendiri. Begitu juga dengan perjalanan saya ke Bromo kali ini. Meskipun sudah berkali-kali mengunjunginya, tetap ada suatu keseruan dan cerita yang bisa saya ceritakan kembali ke beberapa kerabat dan kamu, sebagai pengunjung rumah saya di dunia maya ini....

Perjalanan ini merupakan perjalanan dadakan (lagi). Weekend kali ini rencana saya sebenarnya hanya mengunjungi tempat-tempat wisata di sekitaran Batu, Malang. Saya dan beberapa teman mengunjungi Batu karena kami mendapatkan tumpangan villa gratis di daerah Songgoriti, hehehe... Lumayanlah, untuk menjernihkan pikiran dari ruwetnya pekerjaan walau hanya menginap satu malam. Nah, kebetulan salah satu temen saya ada yang belum pernah ke kawah Gunung Bromo. Maka dari itu, kita bikin trip dadakan mengunjungi Gunung Bromo juga.


Perjalanan dimulai pukul 23.30 WIB, hari Jumat tanggal 02 Desember 2011. Berharap kita sampai Bromo tidak kesiangan, demi mendapatkan background sunrise di foto-foto kita, hehehe... Perjalanan kali ini lancar tanpa hambatan. Memasuki daerah Sukapura, saya tidak bisa melihat pemandangan yang ditawarkan, karena selain kaca mobil yang gelap, saat itu juga ada pemadaman listrik di daerah sana. Okelah, saya hanya bisa memejamkan mata untuk mengurangi jatah tidur yang terbuang, hehehe...

Pukul 02.30 WIB, kita sampai di parkiran atas kawasan Bromo. Udara pagi begitu menusuk tulang. Jaket kain dan celana jeans saya belum cukup untuk menangkis hawa dingin yang ada. Wuuushh, sontak badan "sedikit" menggigil dan uap air keluar di setiap hembusan nafas. Seru sih, seperti adegan di film-film kungfu, hahaha... Malam itu (saya menyebut malam karena matahari belum menampakkan dirinya), pengunjung tidak begitu banyak. Saya hanya melihat beberapa mobil dan sepeda motor yang terparkir.


Langsung saja, setelah ke toilet dan "stretching", kita melanjutkan perjalanan ke kawah Bromo. Tidak menggunakan hardtop memang, hanya mengandalkan kekuatan kaki, hehehe... Di perjalanan, suasana begitu sunyi karena tidak ada rombongan lain yang sama-sama menuju ke kawah Bromo. Hanya malam yang gelap dan hembusan angin gunung yang menemani perjalanan kita. Satu senjata yang lupa tidak kita bawa adalah senter. Ya, kita hanya mengandalkan feeling dan sensor alami di kaki untuk memilih setiap jengkal tanah yang akan kita pijak. Namun begitu, tanpa adanya sinar, membuat kita dapat memandang langit yang penuh dengan bintang. Sungguh indah langit malam itu. Saya juga beberapa kali melihat bintang jatuh, yang baru kali pertama ini saya lihat, bener-bener indah kawan.


Sempat berjalan memutar, akhirnya kita sampai di kaki Gunung Bromo. Perjalanan yang lumayan menguras tenaga, hahaha... Untung saja, setibanya di sana, kita mendapat teman seperjalanan yang hafal dengan medan yang ada, seorang penjual bunga edelweis dan seorang tukang kuda. Saya gak bisa membayangkan apa yang terjadi, mendaki Bromo tanpa adanya alat penerangan sedikitpun. Hmm, perjuangan demi melihat sunrise masih berlanjut. Jalan yang semakin tidak rata dan menanjak serta hembusan angin yang kering membuat jantung bekerja lebih keras. Belum lagi harus menaiki ratusan anak tangga, bener-bener "menyiksa" jiwa raga. Saya juga heran, kenapa dua tahun lalu saya sanggup dua kali menuju puncak Gunung Bromo dalam dua hari. Apa mungkin stamina saya sudah menurun sebegitu drastisnya?! Hahaha....


Anyway, setelah berhasil menaklukkan ratusan anak tangga (dengan istirahat berkali-kali) akhirnya saya sampai di kawah Bromo. Pendar warna jingga mulai menyala di sebelah Timur menandakan matahari akan menampakkan dirinya. Sungguh benar-benar mempesona. Walaupun ada sedikit mendung, namun tidak mengurangi keindahan yang disuguhkan alam bagi kita. Cukup lama saya dan keempat teman seperjalanan menghabiskan waktu di pinggiran kawah yang menganga lebar ini. Duduk santai menikmati pesona Bromo sekaligus memulihkan tenaga yang hilang. Perjalanan pulang sudah menanti, melihat tempat tujuan kita di atas sana yang berjarak kurang lebih 3km membuat saya kembali menghela napas, huft…


Namun, meskipun capek di perjalanan, saya akan mengunjungi Bromo lagi di lain waktu. Mencoba naik ke Penanjakan (lagi), mengunjungi Bukit Teletubbies yang belum sempat saya lihat serta berjalan menyusuri perkebunan dan perkampungan masyarakat Tengger...

Selasa, 15 November 2011

KETERPAKSAAN KE PULAU NUSA BARONG

Nusa Barong di Kejauhan
Trip kali ini berawal dari keterpaksaan. Kenapa? Alasan pertama, hari sebelumnya saya dari perjalanan ke Pantai Bandealit yang sangat-sangat melelahkan, suer!! Kedua, dana saya di bank menipis, karena banyaknya undangan kawinan di bulan ini dan biaya wisuda, huhuhu... Memang sih saya dan beberapa teman berencana mengunjungi Pulau Nusa Barong yang terletak di sebelah selatan Jember ini, tapi tidak menyangka harus mendadak seperti ini. Gimana gak mendadak, saya ditelpon hari Sabtu sore menjelang maghrib, setelah baru saja merebahkan diri di kasur sepulang dari perjalanan berat ke Bandealit. Daaannnn, bisa ditebak, dengan mudahnya saya terbujuk oleh perkataan Mas Faisol dan Mbak Eja, dua temen yang menelpon saya. Wuft, sepertinya kesaktian mereka untuk menghipnotis orang sudah selevel dengan Romy Raffael, hahaha...
 
Esok paginya, hari Minggu tanggal 13 November 2011, saya harus bangun pagi sekali, sekitar jam 04.00 WIB. Huft, mata sepertinya masih tidak mau dibuka, setelah semalam baru bisa tidur jam 24.00 WIB. Hadaaahh, seperti biasa, saya susah bangun subuh! Akhirnya, dengan sedikit paksaan, saya mandi dan mempersiapkan segala sesuatunya. Air minum (DONE), jas hujan (DONE), baju dan celana ganti (DONE). Oke, saya siap! Dan berangkatlah saya ke rumah Mas Faisol, meeting point kami di Jember. Seperti biasa, karakter orang Indonesia memang sulit diubah. Dari perjanjian awal berkumpul jam 05.00 WIB, molor sampai jam 06.00 WIB, menunggu beberapa temen lainnya.


Jam 06.00 WIB, kita memulai perjalanan. Setelah mengisi BBM di pom bensin Mangli, rombongan berangkat menuju Pantai Papuma. Lho, bukannya jika ingin ke Nusa Barong lewat Pantai Puger yak?! Setelah membaca salah satu postingan di KasKus, ternyata untuk menuju ke Nusa Barong juga bisa melalui Papuma. Selain itu, untuk menghindari Plawangan Puger, dimana sering saya dengar berita perahu terbalik dan sebagainya, membuat paranoid. Finally, setelah berjalan "santai" sekitar 60 km/jam, kita tiba di Papuma jam 07.00 WIB tepat. Parkir motor, sewa beberapa life vest, poto-poto (tetep) setelah itu kita naik perahu yang sudah menunggu. Ayeeee!! Perahu sewaan seharga IDR 1.200.000 - IDR 1.500.000 ini mampu menampung banyak penumpang. Dinaiki rombongan saya yang berjumlah 15 orang saja masih banyak tempat yang lowong. Mungkin taksiran saya sih, perahu ini bisa menampung sekitar 30 orang dan bobot maksimal kurang lebih tiga ton (kata si empunya perahu).


Ahay! Saya bener-bener antusias dengan perjalanan ini. Menyusuri Samudra Indonesia demi menuntaskan rasa penasaran akan keindahan Nusa Barong. Selain itu, menembus samudra dengan perahu motor tradisional juga menimbulkan keseruan tersendiri. Memang, tidak dipungkiri ada sedikit rasa khawatir di awal. "Amankah perjalanan kali ini??!" Saya hanya bisa berdoa dalam hati, hahaha... Berharap gelombang bersahabat dan cuaca cerah. Si bapak nelayan juga pasti menolak untuk berangkat kalau gelombang sedang jelek. Syukurlah, walaupun memang bergelombang, tapi masih dalam kadar aman. Seru!! Badan terombang-ambing. Tidak sedikit pula temen perjalanan saya yang mabok laut! Ciri-cirinya gampang, duduk diam, minim ekspresi, keringat mulai membanjiri wajah daaaannn... JACKPOT! Hahaha... Saya juga ikut-ikutan pusing melihat banyak orang bermabok ria, akhirnya saya ambil posisi duduk di depan perahu dan melihat jauh ke depan. Daripada saya ikut-ikutan dapet jackpot, hehehe... Karena pengalaman ini, saya sarankan jangan lupa minum obat anti mabok, buat jaga-jaga. Di perahu panas gak??! YA JELAS!! Jadi, buat kalian yang gak pengen hitam, jangan lupa memakai sunblock, topi, kacamata hitam, jaket, celana panjang, kaos kaki dan sarung tangan! Wkwkwk.... Kalo saya seh, "Gak ke pantai namanya kalo kulit gak terbakar matahari!", hehehe... Tapi, jangan khawatir kok, masih ada beberapa bagian kapal yang terlindungi dari sinar matahari, jadi bisa buat tempat berteduh.


Pemandangan di perjalanan, selain dimana-mana nampak air laut yang biru (iyalah, namanya juga samudra! -__-a), kita juga bisa menikmati batu karang dan tebing. Bukit kapur di Puger juga nampak putih di kejauhan. Yah, untuk menghilangkan kejenuhan di perjalanan yang hampir memakan waktu dua jam, saya dan beberapa teman yang bertahan asik mengabadikan momen. Sebagian lainnya yang mabok laut, memilih tidur di bawah pelindung seadanya. Jaket dan terpal menjadi pelindung dari sengatan matahari, tas dan gulungan celana atau semacamnya menjadi bantal sementara. Tidak peduli kalo kayu perahu ini sering bersinggungan dengan ikan, yang penting dapet posisi yang nyaman.





Jam 08.45, perahu kita mendarat di sebuah teluk. Teluk Jeruk orang menyebutnya. Widddiihh, pemandangannya ajiiibbb meeennnn!!! Ini dia tipe pantai yang saya suka. Ombak yang tenang, air yang jernih, gradasi warna air yang oke, pasir putih yang lembut dan pemandangan sekitar yang hijau membuat tempat ini LAYAK untuk dijadikan tujuan wisata jika kamu berkunjung ke Jember. Pulau ini tidak berpenghuni. Oleh karena itu, berada disini layaknya kita sedang berada di private beach! Bener-bener masih alami yang jauh dari jangkauan tangan jahil manusia. Kita bisa berenang bebas disini. Kadar garam yang lumayan tinggi, membuat tubuh kita mengapung walau hanya dalam keadaan diam. Ajib bukan kondisi seperti ini??! Dua jam an kita bermain disini. Berenang, makan siang, berjemur dan poto-poto tentunya. Sayang banget jika tidak mengabadikan diri di tempat ini! Temen saya yang sudah pernah ke Pulau Sempu dan Phi-Phi Island saja juga berdecak kagum dengan keindahan yang disuguhkan pantai ini, “Wah, seperti bukan di Jawa yah?”. Hemm, sebuah compliment yang cukup beralasan untuk menggambarkan keindahan Teluk Jeruk ini.





Sekitar jam 11.00 WIB lebih, setelah puas di tempat ini, kita diajak mengunjungi spot lainnya oleh si bapak nelayan. Katanya ada pantai yang lebih bagus lagi. Jaraknya? Sekitar 45 menit berlayar dari Teluk Jeruk ini. Dan, setelah 45 menit berpanas-panas ria di dek kapal, kita sampai di sebuah pantai. Bedanya, garis pantai disini lebih panjang dan pasirnya jauuuhhhh lebih halus! Setelah dibandingkan dengan koleksi pasir pantai saya (Balekambang, Pulau Sempu, Papuma, Slopeng dan Lombang) ini yang paling putih dan halusss… Kebayang gak?! Jadilah waktu itu, kita kembali menceburkan diri di birunya air laut walau tidak selama di Teluk Jeruk.



Jam 13.30, kita kembali pulang. Yah, liburan kali ini harus berakhir. Saking panas dan capeknya, saya rebahan dan tertidur di bawah terpal dengan beralaskan gulungan celana temen saya, hehehe… Gelombang pulang tidak seheboh pas perjalanan di pagi hari. Kali ini lebih smooth. Dan bisa dipastikan, tidak ada temen saya yang dapet jackpot! Ketika terbangun dan bercengkerama dengan beberapa temen, saya mendapat sebuah kejutan pamungkas. Seekor ikan paus menampakkan dirinya, menyemburkan air ke permukaan! Ya, paus seukuran perahu kami! Hahaha… Kejutan yang menarik, membuat temen-temen yang tertidur langsung terbangun karena teriakan kaget kami melihat paus!! Setibanya di Papuma, karena perut lapar, kita melanjutkan makan ikan bakar di warung Pak Yet. Seekor ikan putihan besar menjadi penutup trip kita hari itu.



Wuhh, bener-bener suatu pengalaman trip yang luar biasa! Walaupun kulit terbakar dan menghasilkan efek seperti kepiting rebus, saya puaaasss!!! Setelah hidup dan tinggal di Jember selama 24 tahun, akhirnya saya menemukan the best spot in town!! PULAU NUSABARONG! Setelah sekian lama memendam keinginan dan berawal dari keterpaksaan, akhirnya saya terpuaskan. Terima kasih buat Mas Faisol dan Mbak Eja yang telah memaksa saya untuk joint di trip kali ini, hehehe… Lain kali saya PASTI berlibur ke pulau ini! So, buat kalian yang berencana ke Jember, jangan lewatkan untuk berkunjung ke pulau ini. Gak perlu khawatir akan kedahsyatan ombak Samudera Indonesia, karena nelayan disana juga bakal nolak kalau insting mereka mengatakan ombak terlalu bahaya. Selamat menjelajahi Pulau Nusa Barong kawan…!!



RESORT DI ATAS AWAN

Gak salah kalau saya menyebut kawasan Resort World Genting ini sebagai resort di atas awan. Kenapa?! Karena kawasan ini dibangun di atas pegunungan dengan ketinggian sekitar 2000 kaki di atas permukaan air laut. Seluruh bangunan ini sepertinya tidak memerlukan AC, karena suhu rata-rata sepanjang tahun adalah 20 derajat Celcius. Pas saya kesini, wuiihh, dinginnya tidak membuat mata jadi ngantuk, hahaha…


Untuk mencapai resort ini, pengunjung dapat menggunakan dua jalur. Pertama menggunakan kendaraan pribadi dan menyusuri jalan aspal yang ada hingga mencapai puncak. Kedua, kamu bisa naik dengan menggunakan cable car yang tersedia setiap saat. Dengan isi maksimal delapan orang, cable car ini siap mengantar setiap pengunjung ke atas. Saya menggunakan jasa cable car ini untuk perjalanan awal. Mungkin diperlukan waktu sekitar 45 menit untuk mencapai Genting Highland. Selama perjalanan di atas, kamu bisa melihat pemandangan hijaunya pegunungan dan merasakan ketenangan sesaat, hehehe… Aman kok, jadi buat kamu yang takut ketinggian, gak perlu resah dan gelisah (kayak lagu jadul aja, hahaha…). It’s totally safe! Mungkin terasa sedikit geronjalan ketika melewati setiap tiang penyangga. Selain itu, cable car ini bener-bener menembus awan…!



Sesampainya di atas, widih udara nya bener-bener “seger dan sejuk”, termometer dinding menunjukkan angka 21 derajat Celcius. Sepertinya saya salah kostum, dateng kesini dengan memakai kaos tipis, celana pendek dan sandal! Hahaha… Tapi untunglah, badan saya cepat menyesuaikan diri. Di Genting Highland ini terdapat berbagai macam atraksi dan permainan (disini ada dua theme park, indoor dan outdoor), enam hotel (bintang 3 sampai bintang 5), ruang konser serta ratusan toko dan restoran. Jadi disini seperti all in one entertainment spot. Bisa untuk seluruh keluarga, mulai anak-anak sampai kakek nenek.





Hemm, ketika saya berada di dalam gedung, banyak terlihat restoran dan toko-toko layaknya mall. Disini juga banyak terlihat mainan anak-anak. Seperti mesin ding-dong dan permainan-permainan modern lainnya. Sepertinya indoor theme park disini dikhususkan untuk anak-anak, walaupun ada beberapa wahana yang “lumayan” ekstrem, tapi masih aman dimainkan oleh anak-anak. Ditambah pula dengan berbagai patung dan pernak-pernik lainnya yang unyu-unyu, hehehe…




Nah, di bagian luar ini yang seru, outdoor theme park. Disini banyak wahana menantang, antara lain : Pirate Ship, Spinner, Rolling Thunder Mine Train, Sungai Rejang Flume Ride, Space Shot, Flying Coaster dan sebagainya. Kebetulan karena waktu yang singkat, saya hanya mencoba Flying Coaster. Wah SERUUU!! Kita tidak duduk sebagaimana roller coaster lainnya, tapi posisi kali ini tidur, layaknya Superman yang sedang terbang! Pengalaman baru yang bener-bener mengasyikkan. Udara dingin membuat tubuh gemetar, hehehe…



Setelahnya, saya kembali ke rombongan dan melanjutkan perjalanan ke LCCT untuk kembali ke Indonesia. Hemm, bener-bener pengalaman yang tidak mungkin saya lupakan. See you KL!

Senin, 31 Oktober 2011

MENGUKUR JALAN DI BUKIT BINTANG

Peta Kawasan bukit Bintang
Kebetulan selama berada di Kuala Lumpur, hotel saya ada di daerah Bukit Bintang. Sekedar info, Bukit Bintang adalah kawasan segitiga emas Kuala Lumpur. Disini merupakan pusat keramaian, mall, cafĂ©, toko semuanya ada. Banyak juga yang mengatakan bahwa kawasan ini layaknya Orchard Road di Singapura. Wah, tentu mudah mencari hiburan di sekitaran hotel! Yippiieee…

Setelah ada pemberitahuan dari panitia mengenai dimana saya akan menginap di Kuala Lumpur dan kapan bisa bebas berkeliaran seorang diri tanpa rombongan, saya langsung mencari CouchSurfer Kuala Lumpur untuk menjadi host saya, sekedar untuk menemani jalan dan menunjukkan tempat-tempat yang oke di sekitaran Bukit Bintang. Beberapa email saya sebar dan akhirnya ada satu orang yang berminat menunjukkan lebih dalam kawasan Bukit Bintang. Andreas Richterich namanya, seorang warga Jerman yang sudah dua tahun hidup dan bekerja di Kuala Lumpur. Dia bersedia mengantar saya berkeliling daerah Bukit Bintang. Kita juga sudah bertukar nomor telepon, sehingga pas saya di KL nanti, lebih mudah untuk saling menghubungi.

Malam pertama setelah tiba di KL, rombongan saya baru masuk hotel sekitar jam 11 malam waktu setempat. Sudah terlalu malam untuk menghubungi Andy, nama panggilan host saya. Sungkan, hehehe… Gak tahu diri banget kalo saya tetap ngotot ingin ditemani jalan, yah, walaupun dia oke-oke saja. Akhirnya, saya memutuskan untuk berkeliling sekitaran hotel seorang diri. Sayang jika waktu yang saya punya hanya untuk dihabiskan di dalam kamar hotel. Walaupun badan capek, tapi semangat dan keantusiasan mengalahkan segalanya, hehehe… 

Suasana di Depan Hotel

Sebuah Club Malam di Bukit Bintang


Setelah cuci muka dan meletakkan barang bawaan, saya langsung bergegas menuju pintu keluar hotel. Tengak-tengok ke kanan dan kiri, sama ramenya! Hahaha… So, saya cuma mengikuti kata hati dan melangkahkan kaki tanpa tujuan. Di jalan Bukit Bintang ini banyak ditemui tukang massage. Mereka menawarkan jasa layaknya menawarkan makanan. Rame! Merayu setiap pejalan kaki untuk mampir ke kedai massage-nya. Hemm, oke, skip this option… Walaupun kaki pegel, tapi saya sayang untuk membuang uang hanya untuk dipijat, hehehe… Saya teruuuusss jalan, sambil melihat-lihat beberapa toko yang saya lewati. Dan, sampai akhirnya, saya memutuskan untuk ke Jalan Alor. Sempat bertanya dimana letaknya pada seorang penjaja kaki lima, akhirnya saya menemukannya.


Menurut data yang sudah saya dapat ketika masih di Indonesia, jika di kawasan Bukit Bintang, kamu harus mampir ke Jalan Alor ini. Kenapa?! Karena disini pusatnya jajanan murah pinggir jalan. Uyeee….!! Tempatnya seperti Kya-Kya di Surabaya, hanya saja tidak menggunakan seluruh badan jalan, hanya setengahnya. Jadi, setengah badan jalan lainnya masih bisa dilalui kendaraan satu arah. Begitu sampai di mulut jalan, waahhhm berbagai macam kedai berjejeran dan meja-mejapun dipenuhi oleh para pecinta kuliner. Sepenglihatan saya, kebanyakan disini adalah chinesse food, tapi ada juga beberapa penjual seafood dan masakan khas melayu. Hemm, aroma masakan menusuk hidung. Saya hanya berjalan saja, sambil mencari-cari makanan yang aneh menurut saya. Dan akhirnya, saya menemukan sebuah mobil penjual aneka sate seafood. Setelah melihat apa saja yang disediakan, saya memilih sate ubur-ubur dan sotong (cumi raksasa). Ada dua pilihan cara memasaknya, direbus atau digoreng. Saya memilih direbus. Setelah matang, dua sate itu disiram dengan sejenis kuah yang rasanya asem pedas. Rasanya gimana?! Untuk sotong, seperti makan cumi pada umumnya, tapi ini lebih sedikit liat dan kenyal. Kalau ubur-uburnya, hemm, kres-kres gimanaaa gitu, hahaha… Harganya?! Sekitar RM 8,3. 

Kawasan Jalan Alor

Sate Ubur-Ubur dan Sotong
Setelah menghabiskan dua tusuk sate, saya berjalan lagi sampai akhirnya bertemu dengan penjual Tau Foo. Setelah saya amati, ternyata mirip tauhwa kalo disini. Itu lho, makanan dari sari tahu yang lembut lalu disiram dengan air jahe. Nah, bedanya kalau yang ini bukan menggunakan air jahe, tetapi dengan menggunakan air gula dan dapat dinikmati dingin. Segerrr banget, hemm… enak! Hehehe… Setelah menghabiskan semangkuk Tau Foo seharga RM 5, waktu sudah menunjukkan pukul 00.30. Mata sudah sedikit ngantuk dan kaki sudah teramat pegal. Akhirnya saya memutuskan ke hotel dan tidur….



***

Malam kedua, setelah makan malam bersama rombongan, saya menghubungi Andy. Ternyata, dia sudah menunggu saya di lobby hotel, padahal saya belum sampai di hotel, mungkin berjarak sekitar 10 menit. Wah, gilak, baik banget nih orang mau nunggu. Setelah sampai hotel, saya langsung mengenali wajahnya. Pria bule, kurus, berambut putih. Ya, Andy sudah berumur 51 tahun, tapi tau gak?! Outfit-nya persis seperti orang yang berumur 30 tahunan. Kemeja kotak-kotak, celana jeans, tas selempang dan sepasang sepatu kets. Biarpun usia sudah senja, tapi penampilan harus tetap muda, hehehe… Bercengkerama sebentar di lobby, kemudian kita langsung jalan-jalan. Ya, kali ini jalan yang sebenar-benarnya, tanpa menggunakan kendaraan dan alat transportasi apapun, hehehe…

Andy bertanya saya ingin jalan-jalan kemana dan saya mengatakan ingin beli oleh-oleh, makan makanan lokal serta pergi ke tempat yang oke. Maka, dia langsung mengantar saya ke kawasan China Town, sebuah kawasan pecinan yang banyak terdapat penjual souvenir khas KL. Berjarak sekitar 20 menit berjalan kaki dari hotel Federal, tempat saya menginap. Setelah oleh-oleh ada di tangan, dia mengantar saya ke Merdeka Square. Seperti alun-alun lah, disekelilingnya terdapat gedung pemerintahan, yang bangunannya kuno buatan Inggris. Cantik! Dengan lampu LED yang berwarna-warni, semakin meperlihatkan keanggunan bangunan. 

Salah Satu Sudut China Town
Bangunan di Depan Merdeka Square
Di lapangan ini saya bertemu dengan segerombolan warga negara Libya yang tinggal di KL. Mereka menari dan memainkan musik layaknya orang berpesta. Tahu kenapa?! Ya, mereka merayakan kematian pemimpin diktator mereka, Muammar Gaddafi. Dengan bendera baru mereka meluapkan rasa kegembiraannya. Sesuatu yang unik menurut saya. Kata Andy, pemerintah Malaysia tidak melarang setiap warganya berkumpul dan melakukan kegiatan semacam ini, asalkan tidak mengganggu ketertiban. Hemm, nice… Saya dan Andy juga diajak berfoto bersama mereka! Hahaha… sudah kayak turis beneran kalo begini, hehehe…

They're all Libyan
Saya, Andy dan The Libyans


Setelah dari Merdeka Square, kembali saya diajak berjalan ke salah satu masjid tertua di Kuala Lumpur. Saya lupa nama masjidnya, yang saya ingat adalah letak masjid ini di muara sungai dengan arsitektur yang cantik pula. Kemudian, kita berjalan (lagi) menuju ke kampung India. Disini kawasan etnis India bermukim di KL. Toko-toko, restoran dan kedai-kedai semua menawarkan hal-hal serba India, mulai kain sari, bunga-bungaan sampai roti canai. Yah, untuk melepas lelah, saya diajak nongkrong di salah satu kedai. Kecil memang, tapi ini yang paling ramai saat itu. Makannya juga di pinggir jalan. Saya memesan seporsi roti canai dan segelas teh tarik. Cukup lah ya untuk mewakili kuliner khas Malaysia, hehehe… Saya cukup menghabiskan RM 7 untuk tiga porsi roti canai, dua gelas lemon tea dan segelas teh tarik. Murah ya???



Roti Canai dan Teh Tarik
Setelah sedikit kenyang, sebenernya saya masih ingin ke Twin Tower. Tapi berhubung waktu sudah terlalu malam, sekitar 01.30 waktu setempat, tidak memungkinkan bagi saya untuk terus kelayapan. Alasannya, Petronas agak jauh dari posisi saya sekarang, tidak ada LRT yang beroperasi, lampu Petronas sudah dimatikan, besok saya harus bangung sekitar jam 06.00 waktu setempat dan yang terakhir kasihan host saya, hehehe… Akhirnya saya memutuskan untuk mengakhiri petualangan saya hari itu. Andy memberitahu jika jalan kaki, saya butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai di hotel. WHATTT?! Jauh amaaattt!!! Hahaha… So, dengan alasan keamanan dan kesehatan (kaki), saya memilih untuk naik taksi. Gak mahal?! Setelah nego, saya hanya kena RM 10. Gapapalah, daripada kaki saya gempor! Hahaha…

Sisa-sisa Ringgit
So, itulah akhir perjalanan saya “ngeluyur” tanpa rombongan, ditemani oleh seseorang yang tahu akan KL. Senang rasanya. Saya dan Andy berpisah di sebuah lampu merah dan masing-masing menuju ke arah yang berlawanan. Sungguh tidak menyesal saya gabung dengan komunitas ini (CouchSurfing). Mengapa? Karena saya merasa memiliki saudara di setiap kota, tidak hanya di Indonesia saja, tetapi di seluruh dunia!! :D


Sumber gambar peta : google