Kamis, 29 Desember 2011

BERKENDARA JAUH DEMI AYAM PEDAS GUMUKMAS

Ini dia warungnya, seperti rumah biasa, jangan sampai terlewat...
Ternyata Jember itu kaya akan berbagai jenis kuliner yang tidak kalah dengan kota-kota lainnya di Indonesia. Tidak hanya di daerah perkotaan, tetapi juga di daerah pedesaan yang jauh dari keramaian kita bisa mendapatkan kuliner yang mantab. Salah satunya seperti warung makan yang sempat saya singgahi di hari Senin kemarin, tanggal 26 Desember 2011. Warung yang menyediakan menu andalan ayam pedas dan terletak di Dusun Menampu, Kecamatan Gumukmas ini sebenarnya sudah lama saya dengar. Ternyata dari sekian banyak referensi yang mampir di telinga saya, hampir semuanya mengatakan jika ayam pedas di warung ini maknyus, meminjam istilah Pak Bondan, hehehe... "AYAM PEDAS PULOREJO BAPAK H. HASAN BASRI" namanya. FYI, warung ini merupakan cikal bakal ayam pedas di daerah Gumukmas dan telah berdiri sejak tahun 1980. Lho, bukannya ayam pedas yang fenomenal disana adalah "Ayam Pedas Hj. Rupini"?! Memang, namun semenjak Hj. Rupini meninggal, sang suami membuka warung dengan namanya sendiri, sedangkan trademark "Hj. Rupini" dipakai oleh anak mereka yang membuka warung di daerah Dusun Menampu juga tetapi berada di pinggir jalan utama, tidak seperti sang Bapak yang berada di daerah perkampungan.

Si pengelola warung
Penasaran?! Langsung saja meluncur ke TKP. Jika kamu kesulitan menemukan warung makan ini, langsung kontak saya dan saya akan menanyakannya ke teman yang jago dalam urusan hafal-menghafal letak suatu lokasi. Karena saya sangat bermasalah dengan menghafal lokasi, yang ada malah bikin nyasar, hahaha... Yang saya ingat hanyalah waktu tempuh Gumukmas dari Jember kota sekitar satu jam berkendara motor. Perlu diingat, warung ini beroperasi mulai jam 6 pagi sampai sekitar jam 6 sore.

Sesampainya di lokasi, saya melihat hamparan sawah dan ladang jagung. Ya, warung ini terletak di pedesaan dengan pemandangan ladang jagung di seberangnya. Pengunjungpun bebas memilih dimana mereka akan menyantap hidangan. Ada dua pilihan, di dalam warung dengan meja dan kursi "modern" atau bisa duduk santai di bale-bale di samping ladang dengan cara lesehan. Tentunya, saya dan beberapa teman lebih memilih lesehan agar bebas bercengkerama dan menikmati hijuanya pemandangan yang ada, lebih santai pula.

Area "formal"
Area "nyantai abeezzz..."
Warung ini menyediakan dua olahan ayam pedas, panggang dan kuah. Dengan porsi satu ekor ayam utuh, tidak dipotong per bagian. So, kamu mau tidak mau harus memesan satu ekor ayam untuk mencoba kelezatannya. Walaupun harus membeli satu ekor penuh, warung ini bisa menjual hingga 60 ekor per hari lho, bayangkan bagaimana tersohornya warung ini, hehehe... Karena penasaran, jadilah kita memesan dua-duanya. Tidak lama kok menunggu masakan siap disajikan, mungkin sekitar 15 menit.

Begitu dihidangkan, hemmm... ayam panggang pedas begitu menggoda selera. Di atasnya terdapat sambal yang membuat air liur siapapun mengalir deras, hehehe... Rasanya?! Mantab! Daging ayam kampungnya lumayan empuk dengan bumbu yang meresap dan aroma asap masih terasa. Ya, ketika saya masuk ke dapurnya, pemilik warung makan ini masih menggunakan tungku tradisional serta kayu sebagai sumber api. Pedas gak?! Hemm... Relatif ya. Kalau saya menilai, pedasnya dalam taraf "aman", sedang-sedang lah... Tapi bagi beberapa teman saya yang juga ikut dalam kesempatan itu, mereka makan sambil meneteskan air mata dan ingus mengalir keluar, hahaha....

Nih, cara masaknya, masih tradisional...

Ayam panggang pedas
Bagaimana dengan ayam pedas kuahnya?! Cukup sedaplah dengan kuah bersantan dan cabe rawit utuh yang banyak mengambang di permukaan kuah. Namun demikian, rasanya tidak mampu mengalahkan "Ayam Pedas Raminten" yang ada di Terminal Genteng Banyuwangi, menurut saya. Pedas dan kental kuah santan berbumbunya masih kalah jauh dengan Raminten. Satu-satunya jalan kalau Anda merasa kurang pedas, ya tinggal menggerus cabe yang ada...

Ayam pedas kuah
Dari kedua menu masakan yang sudah saya cicipi, saya lebih menyukai ayam panggang pedasnya karena rasa yang lebih nendang, baik bumbu maupun sambalnya. Jadi, bagi kamu yang sedang menungunjungi Puger atau kecamatan lain yang berada di dekat Gumukmas, tidak ada salahnya untuk mencari lokasi makan ini dan mencoba menikmati ayam pedas khas Gumukmas seharga IDR 60rb ini.



Tulisan ini juga dapat dibaca di sini

Kamis, 08 Desember 2011

MADAKARIPURA : MENYUSUR JEJAK PATIH GAJAH MADA


Madakaripura. Ahay, akhirnya saya berhasil mengunjunginya! Setelah di medio 2009 lalu saya hanya balik kucing karena ada suatu kepentingan yang lebih mendesak. Sabtu, tanggal 03 Desember 2011 kemarin, saya bersama empat orang sahabat mengunjungi air terjun ini. Lagi-lagi ini hanyalah perjalanan dadakan dan "keterpaksaan". Kenapa? Karena perjalanan ini bermula dari ancaman salah satu temen yang ngambek. "Pergi kesana atau saya turun di depan dan pulang ke Jember!!", begitu ancamnya, hahaha... Tapi, saya bersyukur karena ancamannya itu, saya berhasil melihat pesona yang ditawarkan Madakaripura, hehehe...

Madakaripura sendiri adalah air terjun yang terletak di Desa Sapih, Kecamatan Lumbang, Probolinggo. Konon, air terjun ini adalah tempat bersemedi Patih Gajah Mada. Tidak sulit menemukan lokasi wisata ini karena ada papan petunjuk besar di pinggir jalan yang bertuliskan "Air Terjun Madakaripura 5 km".

Sepanjang perjalanan kita akan disuguhi pemandangan hijaunya pepohonan di lereng bukit. So, walaupun jauh, kita tidak akan jenuh menyusuri jalan yang ada. Pohon, berbagai tanaman dan sejuknya udara membuat perjalanan terasa mengasyikkan, jauh dari ruwetnya daerah perkotaan. Aksesnya bagaimana? Jalan menuju lokasi ini sudah beraspal. Walaupun semakin mendekati lokasi jalanan semakin sempit, namun masih bisa dilalui mobil dengan lancar.


Begitu sampai di lokasi, ada loket yang menyambut setiap pengunjung yang datang. Setelah membayar IDR 2.500/orang kita bisa memasuki area wisata. Cukup murah kan untuk mengunjungi suatu kawasan wisata?! Setelah parkir, kita melanjutkan tracking menyusuri jalan setapak untuk menuju air terjun utama di ujung jalan. Cukup jauh dan berkelok, mungkin dibutuhkan waktu sekitar satu jam untuk menuju ke air terjun utama. Nah, agar tidak kesasar, disana ada banyak tour guide dadakan (masyarakat setempat) yang bersedia mengantar dan membantu pengunjung. Gak ada salahnya menyewa tour guide lokal seharga IDR 20K ini jika kamu baru kali pertama mengunjungi tempat ini. Selain bisa menunjukkan track yang tepat, kita juga bisa bertanya mengenai segala hal yang menyangkut Madakaripura ini. Tapi, untuk yang sudah pernah kesini atau barengan dengan rombongan yang sudah menyewa guide, tidak perlu menyewa, gak mungkin tersesat soalnya. Lumayan ngirit ongkos, hehehe...

Tracking menuju air terjun utama cukup menarik dan menantang. Kita diharuskan melewati jalan setapak dan beberapa kali menyeberangi sungai. Sepanjang perjalanan kita dimanjakan oleh damainya suasana lembah, hijaunya berbagai tanaman, indahnya bunga liar, kicauan burung, gemericik air sungai dan udara yang sejuk. Widdiiihhh, saya benar-benar menikmati tracking disini. Walaupun kaki sedikit pegel karena sebelumnya tracking di Bromo, tapi saya tidak menghiraukannya. Berjalan terus untuk menuntaskan rasa penasaran saya terhadap air terjun ini. 


Disini sebenarnya tidak hanya terdapat satu air terjun, tapi ada sekitar tujuh air terjun lainnya yang mampu menghibur kita! Hebbooohh... Begitu mendekati air terjun utama, tempat dimana Patih Gajah Mada duduk bersemedi, mulai kita jumpai penduduk setempat yang menyewakan payung dan menjual tas kresek. Payung digunakan untuk melindungi pakaian kita agar tidak basah, karena kita akan melalui jalur tepat di bawah air terjun lain yang tidak begitu deras. Sedangkan tas kresek digunakan untuk melindungi segala barang bawaan kita. Hemm... Saya menghiraukan mereka. Payung tentu saja saya tidak butuh dan kresek sudah dipersiapkan dari Jember! Hehehe...

Dan benar saja, semakin mendekati air terjun pamungkas, kita basah melewati air terjun "penyambut" yang jernih. Tapi itu seruuuu!! Ini yang dinamakan petualangan sebenarnya. Basah-basahan di bawah air terjun! Ahay! Sesampainya di air terjun paling besar di ujung jalan, saya benar-benar takjub akan keindahan yang ada. Namun, waktu kita berkunjung kurang tepat. Datang di saat musim penghujan dan siang pula. Membuat waktu kita berkunjung singkat karena diburu langit mendung dan juga warna air terjun utama ini sedang keruh, tidak sejernih pas musim kemarau. Tapi gak apa-apa lah, begini juga sudah bikin saya dan teman-teman berdecak kagum...


Tidak lama kita disana karena gerimis sudah jatuh ke tanah. Setelah bermain air dan basah kuyup, kita berjalan pulang dan mampir ke warung yang berada tidak jauh dari air terjun utama, sekitar 500 meter. Makan semangkuk mie instan, menyeruput teh dan kopi panas serta bercengkerama dengan sesama pengunjung, pemilik warung dan para guide lokal. Sungguh menyenangkan. Dari sana saya mendengar berbagai cerita, mulai dari tradisi di malam satu Suro, banyaknya orang yang berkunjung untuk mencari "ilmu" sampai bencana banjir yang sempat menelan korban.

Setelah melahap berbagai makanan ringan, kita kembali tracking menuju parkiran dan membasuh diri. Kamar mandi disini bersih dan terawat cukup baik. Dengan harga IDR 2K kita bisa menggunakannya untuk mandi membersihkan diri.


Satu hal yang cukup membuat saya kecewa, ketika sampai di parkiran, saya menjumpai mobil kita sudah dalam keadaan basah habis dicuci. Tampaknya masyarakat sekitar mencari tambahan penghasilan dengan mencuci setiap kendaraan yang terparkir, tanpa ada persetujuan pemilik kendaraan. Hmm... Bentuk premanisme yang sangat sangat halus.

Beberapa tips yang bisa saya berikan kepada kamu yang baru kali pertama mengunjungi lokasi wisata ini :

1. Waktu berkunjung paling tepat adalah di saat musim kemarau (sekitaran Agustus), untuk mendapatkan air yang jernih.

2. Bawalah pakaian ganti, tas kresek dan payung (bagi yang membutuhkan), karena dijamin 100% bakal basah.

3. Pakailah celana pendek dan sandal gunung atau sandal jepit sekalipun, karena tracking akan melewati sungai yang berbatu.

4. Bawa air minum bagi yang gak tahan haus, tracking membutuhkan waktu 2 jam an (PP).

5. Sewa guide lokal tidak mutlak walaupun kamu sedikit dipaksa, jika kamu bebarengan dengan rombongan lain yang sudah menyewa guide, kamu cukup mengikuti mereka dari belakang.


Selasa, 06 Desember 2011

BROMO... LAGI, LAGI DAN LAGI


Saya percaya setiap perjalanan mempunyai kisahnya sendiri. Begitu juga dengan perjalanan saya ke Bromo kali ini. Meskipun sudah berkali-kali mengunjunginya, tetap ada suatu keseruan dan cerita yang bisa saya ceritakan kembali ke beberapa kerabat dan kamu, sebagai pengunjung rumah saya di dunia maya ini....

Perjalanan ini merupakan perjalanan dadakan (lagi). Weekend kali ini rencana saya sebenarnya hanya mengunjungi tempat-tempat wisata di sekitaran Batu, Malang. Saya dan beberapa teman mengunjungi Batu karena kami mendapatkan tumpangan villa gratis di daerah Songgoriti, hehehe... Lumayanlah, untuk menjernihkan pikiran dari ruwetnya pekerjaan walau hanya menginap satu malam. Nah, kebetulan salah satu temen saya ada yang belum pernah ke kawah Gunung Bromo. Maka dari itu, kita bikin trip dadakan mengunjungi Gunung Bromo juga.


Perjalanan dimulai pukul 23.30 WIB, hari Jumat tanggal 02 Desember 2011. Berharap kita sampai Bromo tidak kesiangan, demi mendapatkan background sunrise di foto-foto kita, hehehe... Perjalanan kali ini lancar tanpa hambatan. Memasuki daerah Sukapura, saya tidak bisa melihat pemandangan yang ditawarkan, karena selain kaca mobil yang gelap, saat itu juga ada pemadaman listrik di daerah sana. Okelah, saya hanya bisa memejamkan mata untuk mengurangi jatah tidur yang terbuang, hehehe...

Pukul 02.30 WIB, kita sampai di parkiran atas kawasan Bromo. Udara pagi begitu menusuk tulang. Jaket kain dan celana jeans saya belum cukup untuk menangkis hawa dingin yang ada. Wuuushh, sontak badan "sedikit" menggigil dan uap air keluar di setiap hembusan nafas. Seru sih, seperti adegan di film-film kungfu, hahaha... Malam itu (saya menyebut malam karena matahari belum menampakkan dirinya), pengunjung tidak begitu banyak. Saya hanya melihat beberapa mobil dan sepeda motor yang terparkir.


Langsung saja, setelah ke toilet dan "stretching", kita melanjutkan perjalanan ke kawah Bromo. Tidak menggunakan hardtop memang, hanya mengandalkan kekuatan kaki, hehehe... Di perjalanan, suasana begitu sunyi karena tidak ada rombongan lain yang sama-sama menuju ke kawah Bromo. Hanya malam yang gelap dan hembusan angin gunung yang menemani perjalanan kita. Satu senjata yang lupa tidak kita bawa adalah senter. Ya, kita hanya mengandalkan feeling dan sensor alami di kaki untuk memilih setiap jengkal tanah yang akan kita pijak. Namun begitu, tanpa adanya sinar, membuat kita dapat memandang langit yang penuh dengan bintang. Sungguh indah langit malam itu. Saya juga beberapa kali melihat bintang jatuh, yang baru kali pertama ini saya lihat, bener-bener indah kawan.


Sempat berjalan memutar, akhirnya kita sampai di kaki Gunung Bromo. Perjalanan yang lumayan menguras tenaga, hahaha... Untung saja, setibanya di sana, kita mendapat teman seperjalanan yang hafal dengan medan yang ada, seorang penjual bunga edelweis dan seorang tukang kuda. Saya gak bisa membayangkan apa yang terjadi, mendaki Bromo tanpa adanya alat penerangan sedikitpun. Hmm, perjuangan demi melihat sunrise masih berlanjut. Jalan yang semakin tidak rata dan menanjak serta hembusan angin yang kering membuat jantung bekerja lebih keras. Belum lagi harus menaiki ratusan anak tangga, bener-bener "menyiksa" jiwa raga. Saya juga heran, kenapa dua tahun lalu saya sanggup dua kali menuju puncak Gunung Bromo dalam dua hari. Apa mungkin stamina saya sudah menurun sebegitu drastisnya?! Hahaha....


Anyway, setelah berhasil menaklukkan ratusan anak tangga (dengan istirahat berkali-kali) akhirnya saya sampai di kawah Bromo. Pendar warna jingga mulai menyala di sebelah Timur menandakan matahari akan menampakkan dirinya. Sungguh benar-benar mempesona. Walaupun ada sedikit mendung, namun tidak mengurangi keindahan yang disuguhkan alam bagi kita. Cukup lama saya dan keempat teman seperjalanan menghabiskan waktu di pinggiran kawah yang menganga lebar ini. Duduk santai menikmati pesona Bromo sekaligus memulihkan tenaga yang hilang. Perjalanan pulang sudah menanti, melihat tempat tujuan kita di atas sana yang berjarak kurang lebih 3km membuat saya kembali menghela napas, huft…


Namun, meskipun capek di perjalanan, saya akan mengunjungi Bromo lagi di lain waktu. Mencoba naik ke Penanjakan (lagi), mengunjungi Bukit Teletubbies yang belum sempat saya lihat serta berjalan menyusuri perkebunan dan perkampungan masyarakat Tengger...