Caution : Postingan ini hanya sekedar pemberitahuan...
Sekarang saya mempunyai domain pribadi berakhiran (dot) com lho! Uyeee...! Setelah sekian lama ngiler, akhirnya ada satu teman yang berbaik hati mengurus segala sesuatunya, hehehe...
Tampilan web baru saya otomatis lebih menarik dan saya berusaha memperbaiki tulisan di setiap postingan. Semoga blog baru saya bisa lebih memikat hati kalian yang sudi mampir disini (ceileee...).
Jadi, jangan lupa berkunjung ke www.andrelanjalan.com ya... :D
Cheers,
Andre
Senin, 23 April 2012
Rabu, 11 April 2012
Sehari di Toraja
Akhirnya saya
bisa menapakkan kaki di Tana Toraja. Salah satu destinasi wisata yang
sebelumnya hanya berada di angan-angan. Berbekal itinerari yang dibuat oleh
seorang kawan, saya nekat mengunjungi Tana Toraja ketika berada di Makassar
tanggal 22-24 Maret 2012 lalu. Bayangan akan sempitnya waktu yang ada dan jarak
tempuh yang jauh dari kota Makassar tidak menyurutkan niat saya untuk
mengeksplor Toraja walaupun hanya dalam waktu 1 hari. Banyak orang yang
meragukan rencana saya kala itu. Waktu yang terlalu singkat, tidak cukup bagi
saya untuk menikmati keindahan yang ditawarkan Toraja, begitu argumen mereka.
Namun, karena TEKAD, akhirnya saya tetap memberangkatkan diri. Bersama
seorang travelmate cewek asal Bekasi, Anya, saya mengeksplor
Tana Toraja di tanggal 23 Maret 2012.
***
Setelah sampai di
Makassar, sore harinya saya langsung diantar host saya untuk memesan tiket bus menuju ke Tana Toraja. Ketika itu
dia memilihkan Bus Litha untuk mengantarkan saya ke Toraja. Harga tiket bus
ekonomi hanya IDR 80 ribu/orang. Tanpa banyak cingcong, saya langsung memesan 2 buah tiket. Bus Litha
meninggalkan Makassar menuju ke Toraja jam 8 malam waktu setempat.
Setelah sekitar 9
jam menembus malam dan tidur di atas kursi bus, akhirnya tepat pukul 5 pagi,
saya tiba di Rantepao, Toraja Utara. Udara sejuk dan dingin menusuk tulang khas
dataran tinggi, langsung menyambut kehadiran saya. Berniat mencari rental
motor, tapi semuanya masih tutup. Kantor-kantor dan usaha disini baru buka jam
6 pagi. Ngemperlah saya waktu itu,
menumpang buang air kecil, cuci muka dan ngecharge
hape di kantor perwakilan Bus Batutumonga, hehehe...
Setelah berhilir
mudik dan bertanya ke lebih dari 3 orang penduduk local untuk mencari-cari
rental motor, akhirnya saya menemukannya di depan gereja Katholik Rantepao.
Dengan harga hanya sebesar IDR 50 ribu / 8 jam (inc. bensin 1 liter), saya memberanikan diri menyewa motor yang
terlihat tidak dalam kondisi prima itu. Dengan rem yang sedikit tidak pakem,
pijakan gigi yang menjorok terlalu dalam dan beberapa ketidaknyamanan lainnya
membuat saya ketar-ketir di
awal.
Tapi dengan alasan murah dan diburu waktu, akhirnya saya mengeluarkan KTP dan
menyerahkannya ke pengelola.
Belut Pamarasan |
Motor sudah
didapat, sekarang saatnya sarapan! Saya menghentikan laju motor di salah satu warung
makan yang terlihat sederhana di depan patung kerbau. Sekenanya sih, tapi
jangan salah. Ternyata si ibu penjual, yang pada akhirnya saya tahu bahwa dia
adalah isteri Kepala Dinas Pariwisata Toraja Utara, menyediakan berbagai
kuliner khas lokal. Saya memesan seporsi Belut Pamarasan,
belut yang
dimasak dengan sayur pangi. Sedangkan Anya memesan Ayam Dangkot,
ayam yang
dimasak dengan kelapa muda, sereh dan kunyit. Keduanya bercita rasa
pedas. Enak sih, saya juga diberi bonus sebungkus jajanan khas yang terbuat
dari singkong. Kalo di Jawa sih
dibilang lemet. Dengan harga total IDR 30 ribu (inc. sebakul nasi yang masih tersisa banyak), membuat
perut saya kenyang dan siap untuk mengeksplor Toraja 10 jam ke depan.
Berbekal peta dan
info dari pemilik motor, sayapun mengikuti setiap garis jalan yang nampak di
fotokopian peta tersebut. Sebenarnya, wisata di Toraja ini hanya ada 2 kelompok
besar, melihat rumah Tongkonan dan kuburan adat. Jadi tidak perlu berkunjung ke
semua tempat, karena sebagian besar memiliki kemiripan. Selain itu, jarak
antara lokasi wisata satu dan yang lainnya searah dan tidak begitu jauh,
kecuali kamu mau ke Batutumonga, sebuah dataran tinggi di Tana Toraja. Sekedar
tips, jika
kamu berencana hanya mengeksplor Toraja dalam satu hari seperti saya, jangan
terlalu banyak membuang waktu di satu lokasi wisata. Karena berdasarkan
pengalaman saya kemarin, satu lokasi wisata cukup dikunjungi tidak sampai 30
menit, itupun sudah termasuk mengambil foto landscape
dan bernarsis ria, hehehe...
Menuju ke
selatan, kita bisa mengunjungi beberapa lokasi wisata yang searah. Sebut saja
Buntu Pune, Ke'te' Kesu', Kambira, Lemo, Londa dan beberapa tempat lain yang
saya lupa namanya, hehehe...
Tau-Tau |
Tempat pertama yang saya kunjungi adalah Buntu Pune. Disini kita dapat melihat
rumah-rumah Tongkonan berdiri dengan eloknya. Dihiasi beberapa tanduk kerbau di
bagian depan rumah, menjadikan rumah adat Toraja ini berciri khas. Selanjutnya
saya bermotor menuju Ke'te' Kesu'. Ini adalah
salah satu tujuan utama setiap turis berkunjung ke Toraja. Karena lengkap. Ada
beberapa rumah Tongkonan berjajar rapi, sawah yang menguning, beberapa batu
megalithikum, kuburan kuno dan ada Tau-Tau (patung kayu yang dibuat
mirip dengan orang yang meninggal, lengkap dengan pakaian dan perhiasan). Peti mati
disini ada yang besar untuk beberapa jenazah di dalamnya, serta ada peti mati
yang diletakkan begitu saja di sebuah bukit dengan tulang belulang berserakan.
Mengapa kuburan
di Toraja ini selalu di bukit?! Jadi, disini ada kepercayaan bahwa semakin
tinggi jenazah di tempatkan, maka semakin cepat arwahnya sampai ke Nirwana.
Selain itu, ada tiga jenis cara menguburkan jenazah. Yang pertama, jenazah
dimasukkan peti yang kemudian diletakkan di dalam dinding goa yang sudah
dilubangi dan membuat patung kayu setelahnya. Kedua, dibuatkan peti besar yang
nantinya di dalam peti itu bisa dimasukkan beberapa jenazah kerabat. Cara
seperti ini hanya biasa dilakukan oleh orang kaya. Yang terakhir adalah dengan cara
dimasukkan ke dalam peti kemudian digeletakkan begitu saja di tanah. Unik ya?
Itulah keistimewaan Toraja.
Setelah
dari Ke’te’ Kesu’, saya melanjutkan perjalanan ke Kambira. Jalan menuju ke tempat ini sangat ciamik!! Sawah luas yang
sedang menguning dilatar belakangi pemandangan gunung dan langit yang biru.
Serta nampak beberapa petani yang sedang beraktifitas. Hmm, sulit menggambarkan pemandangan yang saya lihat saat itu.
Namun sayang, saya sempat jatuh ndlosor
di aspal!! Gara-gara motor yang tidak nyaman, jalan beraspal yang sempit berlubang
dan kaget melihat mobil di depan yang akan berpapasan. Damn!! Beruntunglah saya hanya luka ringan dan travelmate saya baik-baik saja... Tengsin?! Jelas! Hahaha... Tapi gak
papalah, harap maklum #maksa.
Oke, setibanya di Kambira, saya harus membayar tiket sebesar IDR 10 ribu.
Lokasi wisata yang satu ini sepi, tidak ada pengunjung lain selain saya dan
Anya. Well, ternyata ini adalah
kuburan bayi yang disebut Liang Pia atau Passiliran. Yang unik disini adalah
jenazah bayi-bayi itu diletakkan di batang pohon besar, dengan cara melubangi
batang tersebut, menutupnya dengan semacam ranting dan diikat dengan
menggunakan tali. Beberapa diantaranya sudah berusia ratusan tahun lho... Hanya
butuh waktu 15 menit berdiam di lokasi ini dan kita melanjutkan perjalanan.
Lokasi
selanjutnya adalah Lemo. Dengan
pemandangan persawahan khas Toraja, disini kita bisa menjumpai kuburan di
dinding terjal sebuah bukit. Ya, dinding batu kokoh itu
dibuat layaknya almari dengan pintu kayu di depannya, digunakan untuk
“menyimpan” jenazah. Konon, ketika ada pemakaman, diadakan ritual khusus yang
membuat si jenazah melayang dengan sendirinya ke tempat persemayaman
terakhirnya di atas bukit sana. Ketika prosesi gaib itu dilakukan, tidak boleh
ada kegaduhan, termasuk suara anak yang menangis, jadi tidak ada yang membawa
serta anak kecil saat itu. Tidak tahu apakah hal itu benar-benar terjadi, namun
yang pasti di jaman modern sekarang, prosesi pemakaman tidak ada hal yang
aneh-aneh seperti itu lagi, menurut jawaban orang lokal yang saya temui. Kamu
juga bisa mendapati Tau-Tau disini. Patung kayu itu juga diletakkan di dinding
bukit.
Selesai
dari Lemo, jam sudah menunjukkan sekitar pukul 12.30 WITA. Saatnya makan siang.
Saya dan Anya kembali ke pusat kota Rantepao untuk mencari kuliner lokal
lainnya. Eh, ternyata di art centre
dekat pasar, sedang digelar acara “Festival Kuliner Khas Toraja” yang pertama!!
Widih, Tuhan begitu baik kepada saya.
Diberi cuaca cerah selama di Sulawesi Selatan ini, dapet host murah hati, dapet
travelmate ke Toraja dan sekarang memberikan bermacam-macam hidangan khas
Toraja di hadapan saya. Akhirnya saya makan siang dengan lauk Pantollo’ Burak,
ayam yang dimasak dengan irisan batang pisang kepok yang masih muda, parutan
kelapa muda, sereh, jahe, irisan bawang merah dan putih, cabe serta garam dan
penyedap rasa. Rasanya?! Hmm, gurih dan krenyes-krenyes,
nikmat sekali! Dengan segelas jus terong belanda membuat perut saya dimanjakan.
Di tempat ini pula saya bertemu dengan seorang ibu yang menjual kue dan ngobrol ngalor ngidul. Orangnya ramah.
Dia juga sempat mengantar saya dan Anya berkeliling pasar, menunjukkan toko
kopi khas Toraja langganannya. Saking
baiknya, dia mengijinkan saya untuk menginap di rumahnya jika berkunjung ke
Toraja, yang entah kapan saya akan mengunjunginya lagi.
Pantollo’ Burak |
Puas
dimanjakan kuliner lokal dan atraksi kesenian setempat, sebenarnya saya ingin
berkunjung ke Batutumonga. Ibu tadi berkata bahwa ini adalah the best spot in town! Penasaran kan?!
Tapi berhubung jaraknya yang jauh, hampir 1,5 jam berkendara dari pusat kota
Rantepao, akhirnya saya hanya bisa balik
kucing. Dikejar waktu euy!
Akhirnya, setelah mengembalikan motor sewaan, saya menghabiskan sisa sore itu
dengan bercengkerama bersama Anya di pinggir jalan, hingga menjelang
keberangkatan bus menuju Makassar.
So, kesan selama hampir 14 jam berada di Rantepao, saya merasa damai. Wilayah kecil di Utara Toraja ini menyiratkan aura yang berbeda. Mungkin dikarenakan tradisi dan budaya yang masih begitu kental serta penduduknya yang ramah. Kuliner, Tongkonan dan kuburan menyisakan kenangan yang gak bakal saya lupakan. Pengalaman traveling baru di tempat yang jauh, bertemu orang lokal dan tentunya jatuh ndlosor dengan sepeda sewaan...
So, kesan selama hampir 14 jam berada di Rantepao, saya merasa damai. Wilayah kecil di Utara Toraja ini menyiratkan aura yang berbeda. Mungkin dikarenakan tradisi dan budaya yang masih begitu kental serta penduduknya yang ramah. Kuliner, Tongkonan dan kuburan menyisakan kenangan yang gak bakal saya lupakan. Pengalaman traveling baru di tempat yang jauh, bertemu orang lokal dan tentunya jatuh ndlosor dengan sepeda sewaan...
Lukisan Purba di Tengah Hutan Batu
Kamu pernah melihat
gambar telapak tangan di dinding goa dalam sebuah buku pelajaran sejarah?!
Ternyata goa tersebut berada di Kelurahan Leang-Leang, Kecamatan Bantimurung,
Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Goa yang kini menjadi salah satu tujuan
wisata populer ini terletak tidak jauh dari Air Terjun Bantimurung. Jadi, jika
kamu berencana ke Bantimurung, sempatkanlah untuk mengunjungi goa purba ini.
Leang-Leang sendiri
merupakan bagian dari gugusan Karst
Maros. Hutan batu yang luasnya mencapai 4.500 hektar (menurut wikipedia).
Dengan luas tersebut, menjadikan salah satu wilayah karst di Indonesia ini menjadi yang terluas kedua di dunia, setelah
South China Karst. Tidak salah
memang, di sepanjang perjalanan menuju Goa Leang-Leang, selain hamparan sawah
yang sedang menguning, sering saya jumpai batuan karst besar berwarna hitam teronggok di tengah sawah. Bukan hanya
satu atau dua saja, tapi banyaaaakkk... Sungguh pemandangan yang lain daripada
yang lain. Perpaduan antara sawah luas yang sedang menguning, birunya langit
dan bebatuan karst membuat jalan
poros ini begitu unik.
Dibutuhkan waktu kurang
lebih 20 menit berkendara dari jalan besar menuju Goa Leang-Leang ini.
Setibanya disana, kamu cukup membayar tiket masuk seharga IDR 10 ribu / orang.
Murah kan ya?! Itupun sudah termasuk guide
dari penduduk lokal, yang siap mengantar kita masuk ke dalam goa untuk melihat
lukisan purba itu. Hanya pengunjung yang berkeliling bersama guide saja yang bisa masuk ke goa.
Karena di pintu masuk goa terdapat pagar yang terkunci, dengan tujuan
menjauhkan lukisan dari tangan-tangan usil.
Berdasarkan informasi
dari guide lokal, Leang-Leang sendiri
berarti “goa” dalam bahasa Bugis. Tidak salah memang, karena disini terdapat
beberapa goa yang konon dulunya menjadi tempat tinggal manusia purba. Hal ini
dibuktikan dengan banyaknya temuan peninggalan jaman dulu, seperti perlengkapan
makan, peralatan rumah tangga dan lainnya di sekitar goa. Pemandangan yang saya
temui juga indah. Hamparan rerumputan hijau, sungai yang mengalir dan lagi-lagi
batuan karst yang beberapa mempunyai
bentuk unit teronggok dengan gagahnya.
Goa pertama yang saya
kunjungi adalah Leang Pettakere. Untuk menuju ke goa ini, kita harus tracking sekitar 15 menit. Menyeberangi
lapangan rumput, jembatan yang di bawahnya dialiri aliran sungai dan memanjat
tebing. Tapi tenang saja, hanya di beberapa bagian dan tidak begitu curam kok.
Bahkan pemerintah setempat sudah membuatkan tangga besi untuk memudahkan
pengunjung yang penasaran akan lukisan telapak tangan itu. Konon, daerah ini
merupakan tepian lautan, oleh karena itu batuan karst yang hitam itu dulunya adalah batuan karang di pinggir
pantai. Dan kamu tahu?! Sekarang jarak laut terdekat adalah sejauh 15 km dari
lokasi dimana saya berdiri saat itu.
Nama Leang Pettakere
sendiri juga mempunyai arti. “Leang” berarti goa, “petta” berarti bangsawan dan
“kere” berarti kepala yang dipenggal! Widih, berbau horor yak?! Memang... Bapak guide bercerita kepada saya dan host saya, Nasruddin, bahwa dulunya ada
seorang bangsawan yang menyimpan harta kekayaannya di sekitar goa ini. Dengan
alasan kerahasiaan agar hartanya tidak diketahui orang, maka setiap budak yang
membawa harta si bangsawan kesini, dipenggal setelahnya. Wuzz... Menghilangkan
nyawa berapa orang untuk sekedar menghilangkan jejak ya?!
Nah, setelah berada di
dalam goa, kita dapat melihat lukisan berpuluh telapak tangan berwarna merah
dan satu lukisan babi yang tertusuk di bagian jantungnya. Warna merah sendiri
(lagi-lagi) kata si guide berasal
dari semacam tanah liat. Jadi mereka menyemburkan larutan tanah liat ke telapak
tangan yang ditempelkan di dinding. Dan walaaa,
jadilah lukisan seperti yang saya lihat! Namun ada yang janggal, tidak semua
telapak tangan itu berjari 5! Beberapa hanya terlihat memiliki jari 4!
Ternyata, hal itu disebabkan oleh tradisi jaman dulu. Jadi, ketika itu, setiap
ada anggota keluarga terdekat mereka yang meninggal, mereka memotong satu ruas
jari mereka sebagai tanda berduka. Gilaaaakkk!!
Untungnya saya hidup di jaman modern ini yak,
hehehe...
Puas mengamati lukisan
itu, saya diajak untuk mengunjungi goa yang lain. Jalan lagi sekitar 10 menit.
Di goa kedua ini, selain masih ada lukisan telapak tangan dan babi, juga
terdapat kerang yang telah menjadi batu. Di dasar goa juga banyak dijumpai
cangkang kerang. Inilah yang membuktikan bahwa goa ini dulunya dijadikan tempat
tinggal dan kerang-kerang itu adalah sisa makanan mereka. Kok tahu?! Jadi kalau
diamati, semua kerang yang ada di situ, ujung bagian belakangnya telah tumpul.
Tanda bahwa manusia jaman dulu memakan kerang tersebut. Katanya si guide lagi sih, hehehe...
Setelah beberapa menit
di goa kedua, di akhir perjalanan kita diajak mengunjungi museum mini yang ada
di sana. Ada apa saja?! Tidak banyak benda koleksi yang ada. Hanya beberapa
foto beserta keterangan, benda-benda purba seperti perhiasan dari batu,
peralatan rumah tangga dan sejenisnya.
Jadi, jika kamu datang
ke Makassar dengan pesawat terbang, sempatkanlah untuk berkunjung ke daerah
ini. Kamu bakal menemukan landscape
yang begitu indah, yang jarang dijumpai di daerah lain. Happy traveling!! :D
Langganan:
Postingan (Atom)